Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Apakah Melanggar Hukum saat Memasang Jebakan Anti Maling yang Mematikan atau Menyebabkan Cidera Parah?

 Pemilik rumah, kandang ternak, gudang kecil, pabrik kecil, hingga kios tempat dagang terkadang merasa teramat jengkel pada maling yang berani-beraninya membobol bangunan pribadi tersebut. Bukan cuma kesal lantaran kehilangan barang ataupun uang. Melainkan, begitu frustrasi karena menganggap dirinya terasa sungguh hina serta tiada berdaya disebabkan telah berhasil dibodohi oleh pencuri.


Apalagi, tatkala tindak pengambilan harta secara tidak sah seperti di atas diterapkan berulang kali seakan tak kapok. Dengan kata lain, perbuatan mencuri bukan lagi faktor terpaksa akibat kepepet kebutuhan mendesak. Melainkan, seolah-olah sudah menjadi profesi sehingga korban dijadikan sebagai sumber kantong duit bagi si pencuri. Mengira korban adalah orang yang gampang dikelabui dan diperas secara sunyi.


Padahal, pemilik properti yang kerap dijadikan sasaran maling sebenarnya memasang kamera pengintai yang diletakkan secara rahasia maupun kamera pengawas keamanan secara terbuka (CCTV). Sayangnya, pencuri tetap nekat mengulangi masuk lahan pribadi milik orang lain. Tentunya, dengan menyertai kain yang menutupi wajahnya hingga hampir seluruh tubuh. Dengan harapan, ketika disorot kamera enggak bakal dikenali identitasnya.


Akhirnya, berhubung sudah terlalu dongkol, pemilik bangunan yang jadi korban pencurian memasang jebakan mematikan. Di antara bentuk perangkap maut itu meliputi memasang kawat yang dialiri setrum listrik bertegangan tinggi, perangkap kaki beruang (berwujud jepitan bergigi tajam), semprotan otomatis berisi air keras, lubang dalam yang disertai tumbukan benda keras dari atas, sampai duri-durian dari besi yang dilumuri racun.


Perlu disadari terlebih dahulu bahwa risiko memasang perangkap anti maling justru dapat mencederai atau setidaknya bikin trauma orang yang tak bersalah. Sebut saja seperti keluarga sendiri, tetangga, tamu, dan pekerja musiman. Tentu juga, hewan peliharaan dan hewan liar juga sangat berpeluang terkena imbasnya. Intinya, memasang jebakan anti maling sangat enggak disarankan untuk dilakukan.


Lantas, apakah pasang perangkap anti maling yang mematikan atau menyebabkan cidera parah merupakan tindakan yang melanggar hukum? Untuk mengetahui jawabannya secara pasti tidaklah mudah. Sebab, dalam kasus hukum ada beberapa pasal sebagai landasan penegak hukum untuk mengangkat kasus. Di mana, pihak berwajib bakal mendalami dulu kronologi dan hubungan satu kejadian terhadap kejadian lain.


Muncul sanggahan dari orang yang merasa geram terhadap tindak pencurian "Bukankah maling itu masuk ke area milik orang lain yang bukan haknya? Salah sendiri lancang memasukinya sehingga menyebabkan luka parah atau malah tewas." Sekali lagi, pihak berwajib bukanlah seperti kalangan tukang gosip selayaknya teman nongkrong atau tetangga gemar berghibah yang mudah percaya terhadap omongan orang lain. Harus ditelusuri dulu bukti-bukti, data-data, dan informasi-informasi lain.


Waspadalah, boleh jadi korban kemalingan tersebut dikenakan pasal pembunuhan berencana. Dibuktikan dengan adanya pemasangan perangkap yang dipersiapkan secara matang oleh pemilik properti. Lagi pula, untuk membuat pencuri jera alias tidak mengulangi perbuatan lagi masih banyak caranya. Misalnya, menunggu maling beraksi kembali lalu menangkap basah ramai-ramai. Langkah berikutnya memakai pintu yang otomatis terkunci rapat di kala dimasuki oleh orang asing. Tentu, masih banyak metode lainnya.


Lebih detail, boleh dikatakan jika tetap memasang jebakan mematikan maka sejak awal korban pencurian memang ada niat mencederai atau membunuh si maling! Nyatanya, yang berhak memvonis pencuri telah melakukan tindakan pidana adalah hakim di muka pengadilan. Begitu pula, bagaimana bentuk hukumannya juga hakim yang berhak memutuskan. Singkat kata, memasang jebakan mematikan sejatinya bukanlah bentuk membela diri. Melainkan, aksi melindungi diri secara berlebih-lebihan yang bisa mencelakai orang lain.


Perlu diketahui saja, pembunuhan terencana ancamannya jauh lebih berat ketimbang penghilangan nyawa secara tak sengaja ataupun pembunuhan dikarenakan aksi spontanitas. Lagi pula, tindakan si maling umumnya bukan kategori yang sanggup mengancam jiwa ataupun keselamatan serta kehormatan siapapun karena tujuannya hanya harta tanpa maksud ingin kepergok oleh pemilik properti. Artinya, dilarang keras menganiaya secara sadis terlebih lagi membunuh pencuri yang tidak melakukan penyerangan lantaran dia pilih menyerah tanpa perlawanan.


Korban kemalingan baru "boleh" melakukan serangan balik ketika diri sendiri maupun keluarga terancam keselamatannya. Itupun, harus mempunyai dasar kuat berupa dalih pembelaan diri. Alasannya, kalau tidak menyerang balik akan sangat berisiko bahaya. Dengan demikian, bentuk serangan balik tidak boleh fatal. Hanya sekadar melumpuhkan si maling agar bisa ditahan dan diikat yang kemudian diserahkan kepada polisi.


Nah, dalam membuktikan tindakan pembelaan diri yang mengakibatkan cidera parah atau malah menyebabkan kematian si maling tersebut saat di kepolisian dan pengadilan tidaklah mudah. Sebab, ilmu pengetahuan teknologi tentang forensik sangat canggih. Penegak hukum sangat tahu betul "gambaran" bagaimana kronologi sebelum kematian terjadi. Maksudnya, maling menyerang agresif atau tidak sebelum matinya pihak berwajib mampu menganalisisnya.


Lebih dari itu, para penegak hukum juga tahu bahwa pemilik properti memiliki motif dendam dan ada unsur kemarahan atau enggak dalam aksi perlawanan kepada si maling. Kalau nyatanya, korban pencurian melakukan penyerangan balik karena dipicu oleh rasa amarah terhadap pencuri tentunya itu bagian dari delik pidana. Baik itu berupa penganiayaan berat yang menyebabkan kematian ataupun pembunuhan berencana. 


Sedangkan, penggunaan jebakan yang mematikan tanpa keterlibatan langsung pihak korban (karena pemilik properti sedang pergi jauh) mungkin saja salah satunya akan dikenakan pasal tindak kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Meski tidak ada unsur kesengajaan untuk membunuh, bukti di lapangan menunjukkan ada korban kematian akibat pemasangan perangkap. Dasarnya, ada kematian pasti ada penyebabnya. Terdapat sebab pasti ada sesuatu di baliknya. Entah disengaja atau tanpa kesengajaan.


Pencuri tetaplah manusia. Dia punya hak untuk dimaafkan dan diberi kesempatan untuk berubah. Perbuatan jahatnya yang telah mengambil harta benda tentulah tidak setimpal diganti dengan cara melenyapkan nyawanya. Kalau memang ingin membela diri sebaiknya belalah diri sendiri maupun keluarga sepatutnya/sewajarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana pihak hukum mau memaafkan perbuatan "pembelaan diri" dari korban kalau korban sendiri ogah memaafkan si maling?


Dibanding memasang jebakan, disarankan pasang alarm otomatis yang memakai sistem detektor. Baik itu yang menggunakan mekanisme sinar laser maupun sensor manual pergerakan pintu atau jendela. Bunyi alarm tersebut barangkali sudah mampu membuat maling panik dan ciut nyalinya. Adapun, penggunaan CCTV hanya sebagai pendukung untuk alat bukti tindak kejahatan. Sekali-kali, jangan berharap bahwa CCTV mampu membuat maling "minder" lalu mengurungkan aksinya.


Itulah sedikit informasi sederhana dari kami. Semoga bermanfaat.

Ilustrasi pencuri sedang melancarkan aksi (sumber Pixabay.com/ Ricinator)





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Apakah Melanggar Hukum saat Memasang Jebakan Anti Maling yang Mematikan atau Menyebabkan Cidera Parah?"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*