Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Perhatikan 5 Hal Berikut Agar Tak Terjadi Sengketa Sesudah Membeli Tanah Produktif, Lahan Kosong, atau Kavling

Banjirembun.com - Kasus sengketa, konflik, maupun perselisihan jual beli tanah produktif (sawah, pekarangan, ladang, hingga kebun) serta lahan kosong cukup/lumayan sering terjadi. Terutama di daerah pedesaan alias perkampungan yang jauh dari daerah perkotaan. Salah satu penyebabnya ialah ketika transaksi atau akad di awal jual-beli tidak diuraikan secara jelas dan mendetail tentang bagaimana sistem pembayaran, fasilitas tanah yang dibeli, sampai dampak-dampak yang terkait setelah terjadinya serah terima.


Beberapa pemicu berikutnya yang dapat menimbulkan bersitegang antara penjual dengan pembeli tanah yaitu terlalu percaya sehingga seketika berprasangka bakal tidak ada gugatan di kemudian hari, sungkan untuk memberi syarat-syarat tertentu sebelum transaksi sah/deal, dan mengabaikan prosedur formal melalui peran PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sebagai pihak yang berwenang "menjembatani" proses jual-beli tanah supaya terhindar dari sengketa. Di mana, salah satu tugas PPAT adalah membuat AJB (Akta Jual Beli) yang berisi segala hal yang disepakati bersama.


Berikut ini tips sebelum membeli lahan kosong, tanah produktif, atau kavling:


1. Harus Diketahui Fasilitas Sekitarnya

Pastikan dulu apakah tanah yang akan dibeli memiliki akses jalan umum yang sah serta tercatat di BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai tanah milik desa/negara. Sebab, meski terdapat fasilitas askes jalan keluar-masuk ke lahan andai ternyata jalan itu merupakan "bantuan sukarela" dari warga, dapat berpotensi sengketa di masa depan. Barangkali pemilik tanah yang dijadikan jalan sekarang ini mau/rela saja properti pribadinya dijadikan akses keluar-masuk. Namun, siapa yang tahu di waktu mendatang para ahli warisnya menguasai serta memanfaatkannya untuk kebutuhan pribadi.


Khusus untuk tanah sawah yang ada sistem irigasi atau pengairannya, pastikan pula jalur yang dilewati oleh air tersebut status tanahnya sudah menjadi milik desa/negara. Lebih dari itu, pematang (galengan) tepat di atas atau di pinggiran sungai kecil merupakan akses umum. Berbeda halnya ketika pematang tersebut berada di tengah-tengah sawah milik individu tertentu. Siapa yang tahu tiba-tiba di kemudian hari dibangun pagar yang berakibat akses ke lahan sawah tertutup.

Area persawahan (umber Pexels.com/ KHOA Nguyenduc)

Nah, untuk tanah kavling amat disarankan sudah memiliki akses listrik berupa adanya tiang listrik yang lokasinya sangat dekat. Tak boleh ketinggalan tanah tersebut harus memiliki batas-batas yang jelas. Misalnya, di semua sisi pojok kavling terdapat patok tanah resmi dari BPN. Lebih bagus lagi bersifat semi permanen berupa pondasi batu kali yang diimbuhi akses jalan yang berada tepat di depan kavling sudah dipaving rapi.


2. Periksa Sertifikat

Pastikan sertifikat tanah yang akan dibeli sudah dipecah sehingga menjadi hak pribadi secara mutlak (SHM) atas nama pihak penjual sendiri. Kalau pun nyatanya belum (misal lantaran tanah warisan atau tanah milik pribadi tapi dijual sebagian) harus diperjelas dulu tentang biaya-biaya pemecahan sertifikat serta siapa yang bertanggung jawab memecahnya. Pertegas dulu setelah dilunasi apakah tanah langsung boleh dikuasai?  Dengan catatan penting, pembeli wajib bertransaksi langsung dengan pemilik tanah tanpa melalui pihak developer. Sebab, secara hukum developer dilarang keras menjual tanah kavling tanpa adanya bangunan rumah.


3. Biaya-biaya Tambahan

Terkadang penjual tanah hanya menawarkan harga pokok pada calon pembeli tanpa menekankan biaya-biaya tambahan lain. Begitu pula, kadang pembeli hanya mempersiapkan uang mepet tanpa sisa yang disesuaikan dengan harga pokok tanah yang dibeli. Padahal, biaya pajak pembeli (BPHTB) dan balik nama melalui PPAT umumnya nilainya tak kecil. Bahkan, ada juga penjual tanah yang membebankan tanggungan pajak penjual (PPh) kepada pembeli. Parahnya, Pajak Bumi Bangunan (PPB) ternyata belum dibayar selama beberapa tahun.


4. Status Tumbuhan di Atas Lahan Setelah Terjual

Tanah pekarangan atau kebun di belakang rumah biasanya ditumbuhi pohon-pohon produktif (kayu bernilai jual tinggi dan buah-buahan) yang terbilang lebat. Nah, ada sejumlah kasus beberapa bulan setelah tanah miliknya terjual (alih tangan) dengan begitu "santai" mantan pemilik tanah itu masuk ke dalam pekarangan yang sudah jadi milik pembeli. Tentu saja, dia memasuki ingin menebang atau mengunduh buah dari pohon-pohon yang tumbuh di atas tanah. Dalihnya yaitu "Saya menjual tanah, tidak menjual pohon, jadi pohon-pohon di atas tanah ini masih milik saya."


5. Keberadaan Sertifikat Berada di Tangan Penjual

Beberapa penjual kadang menjual tanah miliknya dengan kenyataan bahwa sertifikat tanah masih dijaminkan/diagunkan/digadaikan ke bank. Perhatikan juga, khusus untuk tanah warisan (belum balik nama) harus dipertegas terkait penjual mampu menunjukkan bukti resmi (surat-surat) yang merupakan ahli waris dari pemilik tanah sebelumnya yang namanya tercantum di sertifikat. Hindari bertransaksi dengan anak, mantu, atau keluarga lain dari seseorang yang namanya tercantum pada sertifikat. Wajib bertransaksi langsung terhadap pemiliknya. Yakni, transfer uang ke rekening bank pemilik lahan itu.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Perhatikan 5 Hal Berikut Agar Tak Terjadi Sengketa Sesudah Membeli Tanah Produktif, Lahan Kosong, atau Kavling"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*