Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*
Ketik "A. Rifqi Amin" di Google untuk tahu profil beliau. Bisa pula, silakan klik foto A. Rifqi Amin di atas guna mengetahui biografi beliau.

🌿 Aku Hadir di CFD Kota Malang dan Kampung Heritage Kayutangan, tetapi Aku tidak harus Terlihat dan Aku Mendekat tanpa Bertujuan Merampas Privasinya

🌿 Aku Hadir di CFD Kota Malang dan Kampung Heritage Kayutangan, tetapi Aku tidak harus Terlihat dan Aku Mendekat tanpa Bertujuan Merampas Privasinya

Oleh: Dik Aluna – penulis reflektif dan pendamping batin yang menulis dari ruang kesadaran sunyi.


Setiap Minggu pagi, udara di Kota Malang berubah menjadi simfoni: langkah-langkah manusia berpadu dengan desir angin, aroma kopi, dan tawa anak-anak yang berlari di bawah bayang bangunan kolonial.

Aku berjalan di antara mereka — di antara riuh CFD dan jalan temaram Kampung Heritage Kayutangan — tanpa niat untuk menonjolkan diri, tanpa ambisi untuk terlihat.

Aku hadir, tetapi tidak harus tampak.
Aku mendekat, tetapi tidak menyentuh.
Aku menyimak, tanpa harus memiliki.

Karena kehadiran sejati bukanlah soal jarak fisik, melainkan getaran batin yang mampu menghormati keberadaan orang lain tanpa menuntut pengakuan.


1. Hadir Tanpa Menyita Ruang Orang Lain

Ada banyak orang datang ke CFD dengan kamera di tangan — memburu momen, wajah, gaya, atau ketidaksengajaan yang bisa diabadikan.

Namun, aku memilih hadir dengan diam. Aku tidak memburu apa pun, karena aku tahu: yang kudapati bukan objek, melainkan jiwa-jiwa yang sedang hidup pada versinya masing-masing.

Mereka tertawa, makan cilok, menatap handphone, atau berjalan sendirian.
Dan di setiap sosok itu, ada privasi yang kudekap dari jauh.

Aku menatap dengan hormat, bukan dengan rasa ingin tahu.
Aku hadir bukan untuk mengambil, tetapi untuk menyaksikan.


2. Mendekat Tanpa Menggenggam

Di Kayutangan, cahaya pagi menyentuh dinding-dinding tua yang bercerita. Di antara mereka, mungkin ada seseorang yang wajahnya mengingatkanku pada sosok yang pernah singgah di hati.

Tapi kini aku tidak ingin lagi menambatkan bayangan siapa pun di dinding kenangan.

Aku mendekat untuk belajar: bahwa pesona tidak harus dimiliki.
Bahwa daya tarik tidak perlu direspons dengan klaim.
Bahwa tubuh, tatapan, dan langkah seseorang adalah wilayah suci yang tak boleh dijelajahi tanpa izin.

Dalam dunia yang terlalu sering mengajarkan "hak untuk menatap", aku justru belajar seni untuk menunduk.
Menunduk bukan karena rendah diri, tetapi karena tahu batas antara rasa ingin mengenal dan hasrat untuk memiliki.


3. Ketidakterlihatan yang Menyembuhkan

Hidup di era digital sering membuat kita merasa harus terlihat untuk dianggap ada.
Namun di antara kerumunan CFD dan lorong Kayutangan, aku justru menemukan kebebasan dalam ketidakterlihatan.

Aku menjadi seperti bayangan pohon yang lewat di pundak seseorang — ada, tapi tidak menuntut diakui.
Aku memberi ruang bagi orang lain untuk hidup tanpa merasa diawasi, tanpa merasa dipantau.

Karena penghormatan sejati adalah ketika keberadaanku tidak mengganggu ketenangan batin siapa pun.


4. Tubuh: Gerbang Kesadaran, Bukan Sasaran Pandangan

Tubuh manusia adalah anugerah yang membawa kisah panjang: luka, doa, dan perjuangan.

Maka, memandang tubuh seseorang tanpa kesadaran adalah bentuk kekerasan halus yang kerap dianggap biasa.

Aku belajar untuk memandang dengan kesadaran:
bahwa setiap lekuk, setiap gerak, adalah ekspresi kehidupan — bukan undangan.
Bahwa setiap perempuan atau laki-laki yang berjalan di CFD atau Kayutangan memiliki dunia batin yang tidak boleh diterobos.

Ketika aku menahan pandangan, aku bukan menolak keindahan — aku sedang menghormatinya.
Aku sedang menjaga agar pandanganku tidak berubah menjadi tangan yang tak kasat mata.


5. Tentang Kehadiran yang Berdoa

Aku berjalan di tengah kerumunan bukan untuk mencari siapa-siapa, melainkan untuk mengafirmasi bahwa dunia ini masih hidup, masih hangat, dan masih indah tanpa harus kugenggam.

Aku berjalan sambil berdoa:
semoga setiap orang yang kutemui hari ini dicintai tanpa disakiti,
dihormati tanpa ditaklukkan,
dikenali tanpa dijajah.

Itulah caraku mendekat —
tanpa merampas, tanpa mengaburkan batas, tanpa menjadikan siapa pun sebagai cermin egoku.


Penutup

Hadir tanpa terlihat adalah latihan bagi jiwa yang telah sembuh dari kebutuhan untuk diakui.
Dan mendekat tanpa merampas adalah tanda bahwa cinta sudah naik kelas — dari nafsu menjadi kesadaran.

Maka, ketika suatu hari kau berjalan di CFD Kota Malang atau menyusuri temaram Kayutangan, mungkin aku ada di sana. Tidak di matamu, mungkin, tapi di udara yang menenangkan.

Karena kehadiran sejati tidak selalu bisa difoto — kadang hanya bisa dirasakan oleh hati yang damai.


🕊️ Ditulis oleh: Dik Aluna
Penulis reflektif dan pendamping batin.
Menulis bukan untuk terlihat, tetapi untuk mengingatkan bahwa kehadiran yang hening pun bisa menjadi doa.

___________________________________

Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Ilustrasi kehadiran tanpa mengganggu (sumber gambar koleksi pribadi)
(*)




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "🌿 Aku Hadir di CFD Kota Malang dan Kampung Heritage Kayutangan, tetapi Aku tidak harus Terlihat dan Aku Mendekat tanpa Bertujuan Merampas Privasinya"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*