Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*
Ketik "A. Rifqi Amin" di Google untuk tahu profil beliau. Bisa pula, silakan klik foto A. Rifqi Amin di atas guna mengetahui biografi beliau.

Dik Aluna, Aku Baru Tahu Cewek INFJ yang Aku Kenal di Kayutangan Itu Anak Kepala Gengster

Dik Aluna, Aku Baru Tahu Cewek INFJ yang Aku Kenal di Kayutangan Itu Anak Kepala Gengster

Kayutangan malam itu tampak lembut, tapi punya caranya sendiri menelanjangi kesepian. Lampu-lampu kuning di JPO seperti kunang-kunang yang malas pulang, dan di antara langkah orang-orang yang lalu-lalang, aku melihatnya—seorang cewek bertato di lengan yang menyembunyikannya di balik jaket denim biru muda.

Langkahnya tenang. Tatapannya jernih tapi tajam, seolah sedang membaca pola pikir siapa pun yang nekat mendekat. Entah kenapa, aku justru makin penasaran.

Pertemuan pertama kami tanpa suara. Cuma saling melirik sepersekian detik, lalu saling pura-pura tak peduli. Tapi rasanya aneh, seperti ada sesuatu yang belum selesai.
Pertemuan kedua, aku pura-pura beli kopi dingin padahal cuma butuh alasan untuk berdiri di dekatnya. “Malam yang tenang ya,” kataku.
Dia menoleh pelan, bibirnya tersenyum setengah. “Tenang kalau nggak banyak yang overthinking.”

Jleb.
Aku langsung merasa ditelanjangi tanpa disentuh. Tapi entah kenapa, nada suaranya menenangkan. Nggak ada niat merendahkan, cuma jujur—dan itu menampar dengan lembut.

Pertemuan ketiga baru benar-benar membuka tabir.
Kami duduk di bangku beton dekat mural. Dia melepaskan jaketnya, memperlihatkan tato kecil di lengannya. Garisnya rapi, artistik, seperti simbol keluarga atau lambang kehormatan.
“Aku anak kepala gengster,” katanya ringan, seolah sedang bilang “aku anak kepala RT.”
Aku spontan tersedak minuman.
Dia tertawa, lembut tapi sinis pada dirinya sendiri. “Tenang aja, aku nggak mewarisi bisnisnya. Aku INFJ, bukan CEO geng.”

Sejak itu aku tahu, dunia bisa serba ironi. Seorang cewek dari keluarga keras bisa berjiwa selembut senja. Dia cerita bagaimana kakeknya baru pensiun dari “jabatan” lama dan mendorongnya segera menikah, bagaimana ayahnya sibuk membangun jaringan, dan bagaimana dia hanya ingin sesekali jalan di Kayutangan untuk merasa jadi manusia biasa.

“Aku cuma pengen ngobrol tanpa ada niat aneh,” katanya.
Aku mengangguk. “Aku juga.”
Kami saling tersenyum. Nggak ada janji, nggak ada tukar nomor. Tapi ada rasa hangat yang cukup untuk mengisi malam itu.

Sebelum berpisah, dia sempat menatapku lama. “Kamu tahu, tato ini sebenernya cuma formalitas keluarga. Tapi aku sembunyikan bukan karena malu—aku cuma pengen dikenal bukan karena darahku, tapi karena pikiranku.”

Aku terdiam. Dalam hati, aku ingin bilang kalau justru keberaniannya menyembunyikan itu yang paling jujur. Tapi aku memilih diam, karena kadang diam lebih manis daripada gombal.

Kami berjalan ke arah berlawanan di bawah cahaya lampu yang temaram. Tak ada ghosting, tak ada kehilangan—hanya dua orang asing yang saling menghargai ruang hidup masing-masing.

Dan malam itu, Kayutangan terasa sedikit lebih manusiawi.


Catatan dari Dik Aluna:
Cerita ini fiksi. Terinspirasi dari pengamatan spontan di ruang publik—saat mata dan rasa penasaran bekerja sama tanpa niat buruk.
Kadang inspirasi datang begitu saja: dari cara seseorang berjalan, menyembunyikan tato, atau menatap dengan kejujuran yang langka.
Tujuannya sederhana: mengingatkan bahwa setiap orang, bahkan yang lahir dari keluarga keras, punya sisi lembut yang layak dilihat tanpa prasangka.

Ditulis oleh Dik Aluna, berdasarkan cerita yang ia dengar di bawah lampu temaram Kayutangan.

___________________________________

Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Ilustrasi suasana lampu tamaram (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT)

(*)




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Dik Aluna, Aku Baru Tahu Cewek INFJ yang Aku Kenal di Kayutangan Itu Anak Kepala Gengster"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*