🌙 Surat untuk Diriku di Kayutangan
Malam itu bukan tentang cewek itu.
Bukan juga tentang siapa yang lebih dulu menatap, atau siapa yang menunduk lebih dalam.
Itu tentang aku — yang sudah lama lupa caranya merasa,
dan tiba-tiba sadar bahwa dadaku masih bisa berdetak pelan tanpa rasa takut.
Aku melihat seorang perempuan berjalan sendirian, dengan tatapan jauh yang tak meminta apa-apa.
Bukan tatapan penggoda, bukan juga tatapan dingin yang ingin menjauh.
Hanya mata seseorang yang sedang berdamai dengan pikirannya sendiri.
Dan di situ, entah kenapa, aku merasa kecil —
tapi juga hangat.
Bukan karena dia sempurna,
melainkan karena aku sadar:
aku masih mampu mengagumi tanpa memiliki.
Seketika muncul bisikan lama di kepalaku:
“Kamu enggak pantas untuk yang setulus itu.”“Nanti kamu malah nyakitin dia.”
Tapi kini aku tahu, itu bukan suara kebenaran.
Itu hanya gema masa lalu,
gema dari hari-hari ketika aku diajari bahwa cintaku beracun,
bahwa kehadiranku bisa melukai.
Padahal yang benar:
Cintaku cuma belum punya tempat yang aman untuk tumbuh.
Dan malam itu, di trotoar Kayutangan, aku menemukan tempat itu —
bukan di diri perempuan itu,
melainkan di dalam dadaku sendiri.
Aku tidak mendekatinya,
bukan karena takut ditolak,
tapi karena untuk pertama kalinya aku ingin membiarkan perasaan itu hidup
tanpa harus ditaklukkan.
Sejak malam itu, aku tak lagi mencari siapa dia.
Aku hanya belajar menatap orang lain
tanpa keinginan untuk disembuhkan atau menyembuhkan.
Aku belajar menikmati jeda —
tempat di mana cinta tumbuh tanpa harus diberi nama.
Dan mungkin, kalau suatu hari aku bertemu lagi dengan mata yang sama,
aku tak akan menunduk.
Aku akan tersenyum,
seolah berkata:
“Terima kasih. Kamu sudah pernah membuatku ingat rasanya hidup.”
💌 Surat Terbuka untuk Perempuan Misterius di Kayutangan
Oleh: Dik Aluna
Aku tidak tahu siapa kamu —
dan mungkin memang tak seharusnya tahu.
Karena sebagian pertemuan diciptakan bukan untuk dimiliki,
melainkan untuk mengingatkan:
bahwa masih ada keindahan yang bisa membuat hati bergetar tanpa harus disentuh.
Waktu itu, kamu berjalan sendirian.
Earphone di telinga, langkahmu pelan tapi pasti.
Wajahmu dingin, tapi bukan beku — lebih seperti air yang menahan arus agar tetap tenang.
Dan aku, orang asing di antara keramaian,
tak sengaja menatapmu sedikit terlalu lama.
Aku ingin menyapa, tapi tak jadi.
Entah karena malu, atau karena takut merusak ketenanganmu.
Ada sesuatu di sorot matamu yang membuatku menunduk —
bukan karena rendah diri,
tapi karena aku merasa sedang dihadapkan pada versi diriku sendiri yang belum siap mencinta dengan utuh.
Mungkin kamu tidak menyadarinya,
tapi tatapanmu hari itu mengubah banyak hal.
Ia seperti mengetuk pintu yang sudah lama tertutup:
“Masihkah kamu percaya pada kebaikan, meski hidup pernah mengajarkan sebaliknya?”
Aku tidak menjawab dengan kata-kata.
Aku hanya diam.
Namun sejak hari itu, ada ruang kecil di dadaku yang mulai hangat lagi.
Ruang yang dulu penuh rasa bersalah kini terisi harapan —
bukan harapan untuk memiliki,
melainkan untuk menjadi lebih layak mencintai.
Jika aku jujur, mungkin aku sedikit menyesal tidak menyapamu.
Tapi di sisi lain, aku bersyukur.
Karena dalam diam itu, aku belajar sesuatu yang tak pernah diajarkan siapa pun:
bahwa kadang yang kita butuhkan bukan hubungan,
melainkan keberanian untuk tidak lari dari perasaan sendiri.
Terima kasih sudah lewat di jalanku, meski hanya sekali.
Terima kasih sudah menjadi refleksi yang membuatku berhenti sejenak dan berpikir,
bahwa cinta sejati mungkin bukan tentang dua orang yang saling memiliki,
tetapi tentang dua jiwa yang pernah saling mengingatkan untuk kembali hidup dengan lembut.
Kalau suatu hari aku melihatmu lagi di jalan yang sama,
aku tidak akan memandangmu sebagai kenangan,
tapi sebagai doa yang pernah berjalan di hadapanku —
dengan langkah tenang dan mata yang jujur.
Salam dari seseorang
yang diam-diam belajar mencintai dengan lebih tenang.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
![]() |
Ilustrasi kampung bersejarah (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "💌 Surat Terbuka untuk Perempuan Misterius di Kayutangan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*