Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)

Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul: 



Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) 

Oleh: Fahad Asadulloh 
    Foto: Fahad Asadulloh (sumber foto: facebook )
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)

(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di 
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)




              1.    Poligami Menurut Hukum Islam
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang  kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.[1] 

Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu  memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.





Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3:
(ayat al Qur’an tidak bisa ditampilkan di blog ini)

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS Al- Nisa (4) : 8)[2]

Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Juga disebutkan:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له إمرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقّه مائل (رواه أبو داود والترمذى والنسائى وابن حبان)
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Nabi Saw. bersabda,” Barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan punggung  miring”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban).[3]

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat Al-Nisa:129:
(ayat al Qur’an tidak bisa ditampilkan di blog ini)

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu jangan lah kamu terlalu cenderung ( kepada yang kamu cinta), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.( QS. Al-Nisa (4) : 129).[4]

Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.[5]
Abi bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi tidak begitu bergairah dengan istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karen itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.[6]
Aisyah r.a. berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لنسائه فيعدل ويقول : اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك قال ابوداود يعنى القلب.
Artinya: Rasullullah Saw. selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “ Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku tidak menguasai”, yaitu hati. (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu Majah).[7]

Menurut sebagian Ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.[8]
Jika suami melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan undian. Dalam hal ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang mendapat giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hak hibah dalam hal harta benda.[9]
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya bepergian, maka hari-hari yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan Ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran, dan masa banyak.[10]
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di samping itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang memperbolehkan istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain. Sahabat pernah berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اراد سفرا اقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه وكان يقسم بكل إمرأة منهن يومها غير أنّ سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة.
Artinya: Rasulullah jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para   istrinya. Maka mana yang mendapat giliran, dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian Saudah bin Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada Aisyah.[11]

Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari, hendaklah diadakan giliran di malam hari, maka gilirannya di siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang lain selama dua-tiga hari. Bila ia sedang berada dalam giliran seorang istri, maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali ada keperluan yang sangat penting. Misalnya istri sedang sakit keras atau sedang ada bahaya lainnya. Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila di antara istri-istri itu sudah ada kerelaan dalam masalah ini.[12]
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Aisyah disebutkan:
عن عائشة رضى الله عنه قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم  لايفضّل بعضنا على بعض فى القسم من مكثه عندنا وكان قل يوم إلاّ وهو يطوف علينا جميعا فيدنو من كل إمرأة من غير مسيس حتى يبلغ الّتى هو يومها فيبيت عند ها.

Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata: Rasulullah Saw. tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali  waktu bagi Rasulullah. Tetapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau mendekati tiap-tiap istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam di rumahnya.(HR. Abu Dawud dan Ahmad)[13]

Hadits lain juga menyebutkan:
عن أنس رضى الله عنه قال: كان النبى صلّى الله عليه وسلم يطوف على نساءه فى الّليلة الواحدة وله يومئذ تسع نسوة (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Anas r.a. berkata: Nabi Saw. Bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam, dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri. (HR. Bukhari dan Muslim)[14]

Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya di siang hari sekadar untuk meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk berkasih mesra.
Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan paling banyak tiga malam. Tidak diperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agar tidak menyebabkan adanya penyerobotan diantara istri-istri yang lain. Karena gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain, yang berarti telah berbuat durhaka.[15]
2. Poligami Menurut Hukum Positif ( Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Pengertian poligami menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas tetapi pada intinya poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang. Masalah poligami merupakan masalah yang cukup kontroversial, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung adanya poligami berdasarkan pada kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang poligami sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki.




Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil. Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam bukunya wacana poligami di Indonesia bahwa:
Dicantumkan ketentuan  yang membolehkan adanya poligami dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bukan dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum laki-laki. Praktik dalam masyarakat tentang poligami sering menampakkan kesewenang-wenangan suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi bahwa poligami pasti diskriminatif, wujud penindasan kaum suami terhadap istri.[16]

Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup baik dalam arti secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Selain itu, penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dengan kata lain, poligami harus dilakukan sebagai upaya akhir jika semua upaya penyelesaian lain telah dicoba. Hal ini tampak dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang cukup rumit dan sulit apabila bagi suami  berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Permasalahn poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami. Kasus- kasus poligami yang yang kebanyakan saat ini terjadi jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali dimana walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran-pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan tindakan. Akan tetapi permasalahnnya juga sering timbul dan  tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih seorang isrti [17]. Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan  ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan Pengadilan yang berkompeten untuk itu. 
Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

     1.      Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
     2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
     3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anak mereka.[18]
Perkawinan poligami di dalam masyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang isteri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja.
Hikmah perkawinan poligami dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu dapat  perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih berbentuk janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang -Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang.




Untuk kasus poligami ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Agama dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:
     1.      Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang istri
     2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
     3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[19]
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu:
     1.      Adanya persetujuan dari istri
     2.      Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
     3.      Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.[20]
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri di sidang Pengadilan Agama.



[1] Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, 361.
[2] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 115.
[3] Al-Hafidz Bin Hajar Al- Asqalani, (Surabaya: Darul ‘Ilm, t.t), 221.
[4] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya,143.
[5] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 363.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 133.
[7] Al-Asqalani, Bulughul Maram, 221.
[8] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 364.
[9] Syaikh Zainuddin Bin Abdul Aziz al- Malibari, Fathul Mu'in (Surabaya:Darul Ilm,t.t), 221.
[10] Ibid., 222.
[11] Al-asqalani, Bulughul Maram, 221.
[12] Syaikh Zainuddin, Fathul Mu’in, 222.
[13] Al-Asqalani, Bulughul Maram , 221.
[14] Ibid, 223.
[15] Syaikh Zainuddin, Fathul Mu'in, 223
[16] Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia ( Bandung: Mizan, 2005),40
[17]  Undang-Undang Perkawinan ,6
[18]Asro Sutro Atmojo & Wasit Alawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 84
[19] Undang-Undang Perkawinan, 6
[20] Ibid., 7




Baca tulisan menarik lainnya:

2 Tanggapan untuk "Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)"

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*