Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam


Ilustrasi Pengembangan Program Studi (Sumber gambar kopertis3)



B.       Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Dengan maraknya gejala pergaulan bebas di kalangan mahasiswa, maka kampus PTAI sebagai pusat pencetak generasi Islam yang akademis dituntut kepeduliannya dalam penelurusan kembali perilaku mahasiswa yang mengalami pergeseran dari cita-cita semula. Oleh karena itu, sistem pendidikan di kampus atau perguruan tinggi sekarang ini perlu diklarifikasi.  Di mana, sistem asrama merupakan alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.[1] Hal lain yang perlu diingat, sebelum mengadakan pengembangan prodi maka PTAI terlebih dahulu harus mempertimbangkan sejauh mana kemampuan kampus untuk menampung jumlah mahasiswa yang semakin bertambah dan juga semakin beragam latar belakangnya. Terutama bila prodi yang dibuka adalah prodi bidang ilmu pengetahuan umum.
Bisa dikatakan, sebelum diadakan pengembangan prodi di PTAI terlebih dahulu diperhatikan sejauh mana kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang yang dimiliki kampus.[2] Utamanya adalah untuk perumusan kurikulum, tenaga dan kualitas dosen, dan sarana parasarana. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa adanya pengembangan kurikulum (penambahan mata kuliah dan penambahan prodi) berdampak pada “pengembangan” atau “penambahan” lainnya. Misalnya, penambahan tenaga pengajar yang sesuai dengan keilmuan “baru” tersebut, penambahan buku di perpustakaan, pengembangan (inovasi) kurikulum agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan sebagainya.




Pada kenyataannya, kebanyakaan PTAI (khususnya STAIN dan IAIN) selama ini masih terinternalisasi pembakuannya dalam fakultas dan lingkup ilmu serumpun. Oleh karena itu, perlu diadakan pengembangan keilmuan yang meliputi dua sasaran. Pertama,  melakukan pengembangan ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan (tuntutan) masyarakat akan tetapi tetap didasarkan pada aqidah dan pengamalan ajaran Islam. Kedua, pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang tidak hanya terbatas pada produk abad Pertengahan dan Klasik, tapi juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Yakni, dengan cara dilakukan pengembangan varian-varian ilmu baru seperti ilmu sosial Islam, perbankan Islam, perdagangan Islam, manajemen Islam, Politik Islam, dan seterusnya.[3]
Selanjutnya, untuk “predikat” Islam pada penamaan varian ilmu baru tersebut tidak hanya sekedar label “Islam” tanpa amaliah dan aqidah Islam. Bukan pula konsep ibadah yang semata-mata menjadi kajian utama pada buku-buku fiqh. Akan tetapi benar-benar menjadi varian ilmu baru, sehingga hal ini menjadi tantangan berat. Bukan saja dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar bebas, tapi juga sekaligus mengisi kekosongan dan kekurangan ilmu-ilmu yang biasanya disebut ilmu sekuler. Langkah ini secara ideologis dilakukan untuk memahami Islam secara mendetail dan menyeluruh sejalan dengan janji Islam yang menjadi petunjuk hidup secara keseluruhan dan bukan hanya untuk kehidupan akhirat.[4]
Pada tataran lebih praktis, A. Qodri Azizy kembali menekankan bahwa dalam pengembangan prodi (keilmuan) di PTAI terdapat dua cara yang bisa ditempuh. Yakni, wadahnya disediakan terlebih dahulu, dalam hal ini nama program studi dibuka lebih dahulu, baru kemudian diisi dengan materi perkuliahan dan pengembangan keilmuan yang dianggap sesuai dengan prodi terebut. Model seperti ini sering diterapkan di Indonesia, sehingga biasanya tenaga ahlinya berasal dari luar perguruan tinggi tersebut. Langkah lainnya adalah lebih ditekankan pada esensi dan fungsi, bukan wadahnya. Dari model ini yang diutamakan terlebih dahulu adalah adanya SDM dosen yang ahli dan berkarya nyata. Bila semua sudah mapan maka kemudian dibuka prodi atau fakultas baru. Cara ini sering diaplikasikan di negara maju. Di mana orientasinya adalah fungsional dan karya kilmuan yang nyata, berupa hasil penelitian dan penerbitan. Di samping terlebih dahulu sarana perpustakaan, laboratorium, dan sarana yang dibutuhkan serta menjadi syarat untuk pengembangan prodi lainnya harus dilengkapi. Pola ini nampak lebih ideal, sehingga patut diadopsi oleh IAIN untuk pengembangan diri di masa yang akan datang.[5]
Dari penjelasan di atas, maka sebagaimana dirumuskan oleh Azizy bahwa pengembangan prodi pada PTAI dapat dilakukan dengan menggunakan tiga tipe. Di antaranya adalah:[6]
1.     Pengembangan Program Studi Tipe 1
Tujuan utama diadakan pengembangan prodi pada model ini adalah untuk mencetak Ulama abad 21 yang menguasai wawasan kekinian. Dengan kata lain, prodi yang dikembangkan tersebut berfungsi sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang ilmu keislaman, sehingga bisa disebut sebagai lembaga kelanjutan sekaligus pengembangan dari institusi pesantren. Oleh karena itu, di lembagai ini Islam dikaji secara akademik dan bersifat ilmiah dengan tetap bertujuan mengamalkan ajaran Islam secara benar dan tepat. Namun, kenyataannya saat ini pada umumnya IAIN masih berorientasi kajian keilmuan tentang Islam dengan proyeksi lapangan kerja yang kurang jelas. Dapat dikatakan kurang memiliki orientasi amaliah Islam.




Konsekuensi dari memilih pola ini adalah pendalaman keilmuan Islam harus lebih ditingkatkan, penerimaan mahasiswa harus selektif, jumlah mahasiswa tidak menjadi ukuran pendanaan, pendidikan secara totalitas dan optimal (ada asrama) bukan hanya pengajaran, akan tetapi juga target yang jelas dan konkrit, yaitu mencetak ulama abad 21, dan lapangan pekerjaan juga harus jelas. Dengan demikian lulusan yang diharapkan juga akan lebih terfokus profesinya. Misalnya, menjadi Imam masjid tetap, tidak hanya mengimami sholat tapi juga punya program yang jelas untuk pembinaan jamaah masjid. Menjadi pembina spiritual (imam kantor) di lembaga-lembaga birokrasi, misalnya menjadi imam tentara. Tugasnya murni menjadi imam, bukan sebagai tenaga administrasi kantor. Alternatif lainnya adalah sebagai tenaga pengajar atau pembimbing keagamaan di sekolah. Bisa juga menjadi tenaga profesional pada kantor-kantor di bawah naungan kementerian agama termasuk pengadilan agama. Serta peran lain yang arahnya jelas sesuai dengan panggilan hati nurani, temasuk menjadi anggota LSM, wartawan, dan politikus.

2.    Pengembangan Program Studi Tipe 2
Pengembangan prodi pada tipe ini tidak berdampak pada bergantinya nama PTAI dari Sekolah Tinggi atau Institut menjadi Universitas. Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan untuk menggapai tuntutan pasar bebas dengan orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas yang lebih luas. Ciri utamanya adalah setidaknya bisa ditempuh “desakralisasi” ilmu-ilmu ke-Islaman dan “sakralisasi” ilmu-ilmu sekuler, yang oleh Program Pascasarjana IAIN Walisongo disebut dengan “humanisasi ilmu-ilmu ke-Islaman dan sakralisasi ilmu sekuler.” Dengan pola ini IAIN tidak perlu berganti menjadi universitas. Dengan kata lain, pola kedua ini bertujuan untuk mencetak tenaga ahli dan profesional yang Islami. Perbedaanya dengan PT konvensional (Perguruan Tinggi Umum) terletak pada kedekatan dengan tradisi Islam dan lebih berperilaku Islam. Untuk itu IAIN bisa membuka semua fakultas dan jurusan yang biasa dibuka pada PTU, sehingga bisa dikatakan corak pengembangan model ini bertolak belakang dari kesejarahan dan tujuan awal berdirinya.

3.    Pengembangan Prodi Tipe 3
Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan penggabungan ke dua pola di atas dengan cara bertahap.  Di mana, kajian ilmu-ilmu Islam menjadi modal dasar dan sekaligus landasan berdirinya sebuah PT melalui pembukaan fakultas dan prodi yang bisa memenuhi lapangan pekerjaan sekaligus tetap pada kerangka atau bahkan bermula dari ajaran Islam. Tipe kedua dari dua model di atas sangat dekat dengan tipe ke tiga ini. Yakni, di samping berangkat dari ajaran wahyu, juga dikembangkan teori-teori sosial, humaniora, dan sains hasil karya para pemikir Muslim. Teori-teori yang dikembangkan berangkat dari empiris dan sumber wahyu yang bersifat saling mengontrol. Fungsi wahyu sebagai pengontrol dalam menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat. Sedangkan hasil empirik berfungsi mengontrol proses pemahaman wahyu. Dengan kata lain, pelaku kajiannya tetap dalam kerangka memahami dan menjalankan ajaran wahyu. Dari pola ini diharapkan bisa mewujudkan ilmuwan yang mampu menyelesaikan permasalahan dunia, yang selama ini beberapa bagiannya masih luput dari kajian dan tradisi ilmuwan sekuler. Dengan kata lain IAIN harus mampu mengisi kekosongan yang telah menimpa para ilmuwan sekuler. Di mana semuanya itu harus diawali dengan penciptaan tradisi akademik yang benar-benar kuat.



[1]Tholkhah dan Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 111.
[2]“Mengenai teori-teori dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam memerlukan berbagai macam cabang ilmu antara lain: ilmu filsafat, ilmu pendidikan, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, dan lain-lain... Langkah-langkah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam antara lain: Pertama, harus mampu mengakomodir ilmu pengetahuan; Kedua, meyakini bahwa ilmu pengetahuan berasal dari Allah; Ketiga, mengupayakan adanya keseimbangan pendidikan; Keempat, mengupayakan adanya organisasi, dan Kelima; mempunyai ekonomi yang mapan dan memiliki kemampuan politik.”[2] Lihat, Arif, Pengantar Ilmu dan, hlm 12.
[3]Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 31.
[4]Ibid., hlm. 32.
[5]Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 33.
[6]Ibid., hlm. 34-39.




Baca tulisan menarik lainnya: