Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

C. Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam

Sahabat *Banjir Embun* kejahatan terorisme masih menjadi mimpi buruk bagi negara kita. Bagaimana tidak, teroris melancarkan aksinya tidak pandang bulu, SARA, dan usia.

C.  Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui PAI
Isu dan permasalahan tentang keamanan yang sangat kompleks pada akhir-akhir ini menghasilkan banyak persoalan. Tak pelak, tema tersebut sangat menarik untuk dikaji. Utamanya kasus tentang terorisme, yang salah satunya menjadi bahasan dari konsep human security.[1] Mengacu pada penjelasalan awal tentang human security yang faokus perhatiannya tertujua pada individu, maka pada dasarnya setiap individu memiliki hak untuk hidup aman. Dengan asumsi, keamanan merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang harus terjamin dan dilindungi dari berbagai ancaman. Terutama ancaman dari tindakan kekerasan maupun terorisme dan intimidasi maupun provokasi dari pihak lain.
Konsep tersebut bila dikaitkan dengan peran PAI sebagai basis sekaligus ujung tombak pendidikan Islam, maka PAI harus bisa merekonstruksi “paradigma” atau pemahaman[2] umat Islam. Yakni, salah satunya supaya bisa menjadi manusia yang damai secara aktif. Artinya, kedamaian yang dicapai bukan hanya dengan tidak melakukan kekerasan (ancaman) terhadap pihak lain. Namun, kedamaian yang benar-benar dilakukan karena umat Islam sebagai mayoritas dan yang kuat dalam segala aspek, sehingga mampu memberikannya secara totalitas. Dengan kata lain, untuk menjadi kekuatan atau organisasi besar pengayom perdamaian bagi pihak lain sepatutnya PAI mendorong peserta didiknya sejak dini. Dengan demikian, pihak lain merasa nyaman dan aman dibawah naungan dan jaminan kekuatan dominan umat Islam.
Memang, mengatasi masalah terorisme bukanlah perkara mudah. Tidak bisa berhenti hanya dengan menangkap, mengadili, dan menghukum pelakunya. Ini merupakan permasalahan kompleks yang tidak boleh berhenti dan terpuaskan pada masalah pemberantasan terorisme secara kasat mata (fisik). Oleh sebab itu, dibutuhkan cara-cara yang tepat untuk membumihanguskan terorisme. Salah satunya melalui jalur pendidikan. Hal ini, agar dalam jangka panjang potensi terorisme tidak terulang lagi di masa datang. Bagaimanapun, pemberantasan terorisme secara fisik hanya akan berdampak jangka pendek dan bersifat sementara. Asumsinya, bibit-bibit terosime secara ideologi tidak ikut diberantas. Bahkan dimungkinkan nanti, saat yang tepat akan terjadi aksi terorsime yang jauh lebih kejam dari sebelumnya. Dengan kata lain, sebagai wujud balas dendam terciptalah terorisme melalui gaya baru yang lebih mengerikan dan tak terpikirkan sebelumnya. Salah satunya misalnya, melalui serangan di internet, melalui senjata biologis, dan sebagainya.
Dalam konteks psikologi, salah satu cara mencegah terorisme secara perorangan adalah melalui latihan membangun konsep “sanksi” bagi diri sendiri. Selain itu, pada proses sosialisasi, individu menerapkan standar moral yang berfungsi sebagai penuntun dan pencegah untuk melakukan perilaku tertentu. Dengan asumsi, individu melakukan sesuatu demi mendapatkan kepuasan dan pembangunan harga diri di masyarakat.[3] Oleh karena itu, seseorang senantiasa menahan diri untuk tidak bertindak dengan cara-cara melanggar moral mereka sendiri. Bila harus melakukan suatu pelanggaran maka mereka akan sangat merasa bersalah. Jadi, fungsi “sanksi bagi diri sendiri” ini adalah menjaga perilaku agar sesuai dengan standar internal. Dengan demikian, standar moral yang ada di masyarakat tidak berfungsi sebagai pengatur (pengarah) tingkah laku internal secara mutlak. Selain itu, mekanisme pengaturan atau pengendalian diri sendiri melalui sanksi tidak akan berjalan bila diabaikan (tidak difungsikan) begitu saja. Selain itu, ada banyak proses psikologis yang dapat digunakan untuk melenyapkan reaksi moral dalam diri pribadi tentang perilaku yang oleh masyarakat luas disebut sebagai “tidak manusiawi.”[4]
Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan sebuah skema tentang manipulasi psikologi seorang teoris sehingga menjadi kejam sebagai berikut:[5]
 


Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri
(skema diadaptasi atau dirubah sebagian dari gambar Albert Bandura)

Dari gambar di atas, dapat disimpulkan pada mulanya teroris menganggap bahwa membunuh orang yang tidak berdosa merupakan tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut, teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara. Termasuk salah satunya mengkambinghitamkan penyebab pada pihak lain. Dengan kata lain, terjadi penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perubahan yang awalnya haram menjadi boleh, bahkan wajib untuk dilakukan. Pada akhirnya terjadi pengkaburan nilai-nilai kemanusiaan. Yakni, mengorbankan nyawa manusia, hingga manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia melainkan dijadikan tumbal dan alat perjuangan semata.
Secara gamblang, Bandura menyampaikan bahwa meskipun standar moral pada setiap individu sama. Akan tetapi, pengaktifan dan penghilangan (perluasan) kendali diri secara selektif memungkinkan setiap orang melakukan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya, dalam proses pengaturan diri sendiri seseorang bisa saja menghilangkan pengendailan moral internalnya (sanksi pribadi), sehingga mau melakukan tindakan destruktif. Hal ini terjadi karena sanksi bagi diri sendiri dihilangkan dengan melakukan penafsiran ulang bahwa perilaku tersebut untuk mencapi tujuan-tujuan moral yang lebih mulai.[6] Akibatnya, seseorang yang melakukan tindakan tidak manusiawi (amoral) bisa saja merasa tidak bersalah karena standar moral mereka telah diperluas maknanya. Dimana yang awalnya membunuh menurut standar moral dan pengendalian pribadinya merupakan tindakan amoral, menjadi bernilai moral mulai karena untuk menjalankan misi yang dianggap bertujuan agung (lebih mulia).
Adapun pencegahan tindakan terorisme secara kolektif, dalam konteks ini melalui pembelajaran PAI, dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai pendidikan anti terorisme. Salah satu wujud nyatanya adalah melakukan proses deradikalisasi secara tepat.[7] Sebagaimana yang ditawarkan Samani dan Hariyanto yang diambil dari kurikulum karakter negara bagian Georgia yang dikutip ulang oleh Wiyani sebagai berikut:
1.    Citizenship, terkait kualitas pribadi serta hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Contoh: Hak dan kewajiban dalam pemanfaatan dan pengembangan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan umat manusia.
2.    Compassion, kepedulian (empati) terhadap penderitaan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.
3.    Courtesy, perilaku luhur dan bertutur kata halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.
4.    Fairness, perilaku adil, sportif, dan terbebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan.
5.    Moderation, berpikir kritis sehingga terjauh dari pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang tidak rasional.
6.    Respect for other, peduli dan menghormati hak-hak dan kewajiban orang lain.
7.    Respect for the Creator, mensyukuri segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu menjalankan perintahNya
8.    Self control, mampu mengendalikan diri dari keterlibatan amarah dan tindakan seseorang.
9.    Tolerance, menerima dan menghargai segala penyimpangan dan kesenjangan antara kepercayaan miliknya dengan kepercayaan yang dimiliki orang lain.[8]

Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran Pendidikan dalam mencegah tindakan terorisme di kemudian hari sebagai berikut:


 
Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan

Dengan demikian, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu, peserta didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham sesat.[9] Mereka mampu membedakan mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan (kekerasan) balik terhadap musuh[10] yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad.[11] Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam[12] yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal (terorisme). Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya[13] dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai[14] terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptakan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana pernyataan Azyumardi Azra yang dikutip oleh Wahid, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik seutuhnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan agama Islam. Bagaimanapun, Islam mengajarkan pada umatnya untuk menekankan nilai kemanusiaan yang universal. Yakni, mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan yang dilakukan dengan tidak menggunakan jalur kekerasan (terorisme). Di sisi lain agama Islam juga memberikan legitimasi kepada pemeluknya untuk berjuang (jihad), berperang, dan menggunakan kekerasan terhadap para penindas, musuh-musuh Islam serta pihak luar yang tidak punya iktikat baik dalam hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Muslim.[15] Bahkan, sesungguhnya Islam mengajarkan untuk menyayangi nyawa sendiri. Buktinya, dalam konteks terpaksa, seorang muslim dibolehkan untuk memakan daging babi di hutan belantara terpencil yang tidak ada lagi sumber makanan selain itu. Hal itu dilakukan agar nyawa bersangkutan bisa terselamatkan. Artinya, Islam menghargai setiap nyawa, khususnya nyawa umat Islam sendiri. Konsep tersebut secara hakikat sangat bertentangan dengan konsep bunuh diri yang dilakukan teroris.


[1]UNDP merumuskan human security dalam beberapa komponen sebagai berikut: (1) keamanan ekonomi (assured basic income), (2) keamanan pangan (physical and economic access to food), (3) keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection), (4) keamanan lingkungan (access to sanitary water supply), (5) keamanan sosial (security of cultural identity), (6) keamanan individual (security from physical violence and threat), dan (7) keamanan politik (protection of basic human rights and freedom). Lihat, Kristiadi, “National Security, Human,” diakses 31 Desember 2014.
[2]Sebuah tindakan yang gegabah bila mencampuradukan permasalahan (kepentingan), yaitu dengan menuduh kurikulum keagamaan beserta lembaga pendidikannya sebagai “satu-satunya” yang bertanggung jawab atas terjadinya tindakan terorisme. Ada faktor lain, yang perlu dipelajari salah satunya adalah pemahaman yang keliru terhadap al Quran (saat diluar lembaga pendidikan) yang menjadikan generasi muda Muslim menjadi mudah diperdaya untuk melakukan tindakan terorisme. Di mana secara serta merta tindakan tersebut sebenarnya dapat menghancurkan umat Islam sendiri. Oleh karena itu, tidaklah benar bila ada asumsi yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam turut menyemangatai tindakan terorisme. Lihat, Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” hlm. 156-157.
[3]Dalam mengatasi terorisme masyarakat diharuskan mengembangkan cara-cara  dalam menyelesaikan masalah ideologi, sosial, kebenaran, dan ketidakadilan. Tentu semua itu dilakukan tanpa adanya kekerasan, otoritarisme, dan pemaksaan. Salah satu caranya adalah dengan menghidupkan “ruang publik” yang manusiawi (beradab) sebagai modal utama dalam mengatasi ketimpangan. Baik dalam bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya yang diselenggarakan secara terbuka, toleran, dan beradab.  Dengan demikian, setiap warga negara mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan dalam bidang apapun untuk berpartisipasi, dihargai, dan diberi tempat. Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, hlm. 45-46.
[4]Bandura, “Mekanisme Merenggangnya Moral,” hlm. 205.
[5]Ibid. hlm, 206.
[6]Bandura, “Mekanisme Merenggangnya Moral,” hlm. 205-206.
[7]Menurut Huda sebagaimana dikutip Qodir disampaikan perlu penggagasan adanya deradikalisasi agama sebagai salah satu pencegahan terorisme yang bersifat nirkekeraan. Mengingat, cara-cara represif, proses hukum, penangkapan, dan eksusi mati dirasa kurang efektif. Hal ini karena cara tersebut kurang menyentuh pada hakikat pokok permasalahan. Dengan kata lain, mencegah itu lebih baikd daripada melakukan aksi pemotongan tindakan terorisme. Terlebih bila bagian yang terpotong itu sanggup tumbuh lagi bahkan lebih besar dari sebelumya.Bagaimanapun, “Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, dalam  teori resolusi konflik, memang akan memunculkan kekerasan baru. Dari hal itulah kemudian dicari metode lain untuk menghentikan berbagai macam terorisme.” Lihat, Zuly Qodir, “Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol 1, Nomor 2, Desember 2012: hlm -85-107, dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/5_jurnal_pi_2-1_zuly_qodir.pdf, diakses tanggal 21 Desember 2014.
[8]Novan Ardy Wiyani, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA,” dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/4_jurnal_pi_2-1_novan_ardi_wiyani.pdf, Jurnal Pendidikan Islam Vol. I. No. 2 Desember 2012, hlm 75, didownload 20 Desember 2014.
[9]Bisa jadi nilai-nilai atau bibit tindakan terorisme yang terbangun dan terbentuk bukan saat masa pendidikan berlangsung, tapi setelah melalui proses itu. Yakni, ketika mereka mulai berkomunikasi secara intens dengan para “pencuci otak” serta pelaku atau pendukung tindakan terorisme. Oleh karena itu, kesalahan lembaga pendidikan dalam masalah terorisme tidak bisa dituduhkan secara mutlak. Dengan kata lain, mereka telah gagal dalam mencegah generasi muda untuk tidak melakukan tindakan terorisme di kemudian hari. Lembaga pendidikan tidak berhasil mengkonstruk (melakukan pendoktrinan) tentang mana kekerasan yang tidak dibolehkan agama dan mana kekerasan yang dibolehkan oleh agama pada kondisi tertentu.
[10]Definisi musuh di sini adalah negara lain yang melakukan penjajahan atau penyerangan serta melanggar perjanjian yang disepakati bersama. Bukan sesama anak bangsa Indonesia yang melakukan penyerangan terhadap umat Islam. Dalam lingkup Indonesia, apabila umat Islam diserang terlebih dahulu oleh sesama anak bangsa tidak perlu melakukan serangan balik. Akan tetapi cukup mempertahankan diri seperlunya atau mencari tempat perlindungan sambil meminta bantuan pihak berwenang. Bagaimanapun, yang berwenang melakukan “serangan balik” melalui peringkusan terhadap pelaku kekerasan ialah aparat keamanan yang diakui oleh Undang-undang Indonesia.
[11]Selain itu untuk mengobarkan semangat jihad pada generasi muda, selama masa damai maka energi “jihad” digunakan untuk hal-hal yang lain. Misalnya, untuk menuntut ilmu pengetahuan umum dan untuk kegiatan yang lainnya sehingga peradaban Islam bisa terbangun dengan utuh dan sesuai dengan jalan ajarannya. Artinya, umat Islam tidak perlu menggunakan cara kekerasan sebagai reaksi dari agresifitas pemikiran nyleneh di luar Islam. Baru ketika unsur di negara lain yang melakukan agresifitas fisik terhadap tumpah darah Indonesia, maka umat Islam berkewajiban untuk melakukan pembelaan dengan reaksi fisik pula (kekerasan) bila diperlukan.
[12]Generasi muda umat Islam harus mendapatkan perhatian besar dalam dunia Pendidikan. Bagaimanapun mereka adalah penerus generasi umat Islam untuk menciptakan peradaban yang lebih unggul dari sebelumnya.  Mereka harus dibekali cara untuk menangkal diri dari tindakan-tindakah konyol seperti aksi terorisme, tindak kriminalitas, praktek asusila, irasionalitas, dan hidup dalam ketidaksadaran (ketidakpastian). Namun kenyataannya, masyarakat Islam kurang peduli terhadap masa depan mereka terutama dalam aspek pendidikannya. Lihat, Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” hlm. 114.
[13]Menurut J. Post (1986) sebagaimana yang dikutip oleh Post bahwa Individu yang mengalami gangguan kepribadian akan salah dalam mengkonsep diri, sehingga tidak pernah benar dalam mengintegrasikan bagian-bagian baik dan buruk dari dirinya. Yang ada hanyalah konsep yang terbelah, yaitu “aku” dan “bukan aku.” Seorang individu dengan konstelasi ini mengangagap ideal dan mengagumkan kepribadiannya sendiri, serta membelah dan memproyeksikan semua kelemahan hanya pada individu (kelompok lain). Individu yang sangat percaya pada mekanisme pembelaan dan eksternalisasi ini mencari sumber permasalahan dan kesulitan bukan dari dalam dirinya sendiri tapi di luar diri. Dengan demikian, tipe individu seperti ini butuh musuh di luar dirinya untuk dijadikan objek kesalahan. Lihat, Post, “Psiko-logika Teroris: Perilaku,” hlm. 30.
[14]Nilai-nilai dasar kelompok teroris menekankan pada kelanggengan kekerasan dan condong memilih keputusan-keputusan yang lebih berisiko. Menurut Janis sebagaimana yang dikutip Post, bahwa kelompok teroris telah menunjukkan identitas “nilai dasar kelompok,” di antaranya sebagai berikut: (a) Ilusi-ilusi tentang kesaktian yang mengakibatkan optimisme berlebihan dan pengambilan resiko yang terlalu besar. (bila dikontekskan sekarang adalah adanya ilusi tentang ganjaran mendapat bidadari di surga) (b) Moralitas kelompok yang harus dijunjung. (c) Presepsi tunggal tentang musuh sebagai pihak yang bersalah (sebagai setan) (d) Terorisme sebagai tantangan bagi anggota kelompok untuk  melaksanakan tugas suci “terorisme” sebagai keyakinan kunci. Lihat, Ibid., hlm. 42.
[15]Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif,  hlm. 41-42.




Ilustrasi penghapusan terorisme (sumber gambar nu.or.id)




Baca tulisan menarik lainnya: