Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Curhat Pribadi, Alasan Enggak Betah Berlama-lama Kerja di Sini

Banjirembun.com - Gue kerja untuk apa sih? Itulah yang selama ini menjadi pertanyaan dalam benak gue? Kalau untuk cari uang, sebenarnya gue masih punya tabungan yang terbilang cukup banyak. Sekiranya untuk cari pengalaman, sebetulnya gue sudah banyak memiliki pengalaman kerja. Hampir seluruh berbagai jenis profesi pekerjaan telah gue coba, mulai dari tukang pel (office girl) hingga asisten manajer pun juga pernah.


Kalau cuma untuk mendapatkan pengakuan sosial, sesungguhnya gue belum butuh itu. Soalnya, gue masih status kuliah. Mungkin, satu-satunya alasan kenapa gue bersemangat "buang-buang waktu" banting tulang kerja yaitu gara-gara urusan percintaan yang gagal dengan seorang cowok. Pikir gue, ketimbang dilarikan untuk hal negatif, bakal bagus ketika gue larikan/alihkan dengan sibuk bekerja. Sebuah pelarian yang cukup elegan kan?

Baca juga Pengalaman Pribadi, Dipecat dari Tempat Kerja Secara "Halus"

"Dasar cowok sialan. Cewek secantik gue, bukannya dideketin malah dianggurin dan ditinggalin. Banyak pria yang lebih ganteng dari lu dan lebih tajir dari lu, yang deketin gue. Namun, gue sebenarnya tetap menambatkan hati ke lu. Sayangnya, lu kagak peka. Enggak aktif. Tanpa inisiatif. Gue yakin benar bahwa lu tahu kalau gue suka lu. Pun, gue percaya betul, lu juga ada rasa ke gue. Tapi, lu kok gitu sih?"


Kembali ke tema tulisan. Jadi begini. Gue pernah kerja di salah satu tempat. Sebetulnya, waktu itu gue masih sangat galau-galaunya akibat percintaan. Meski begitu, sebagai orang "tahu diri" tentu dalam bekerja gue tetap profesional. Masih dalam koridor dan standar pekerjaan normal. Di antaranya dilakukan secara disiplin, bekerja sesuai tupoksi, menghormati atasan, kerja tuntas (pantang tugas tak selesai), pantang tolak tugas yang sesuai jobdesk, sampai pantang ulur waktu.


Sayang beribu sayang. Walau beberapa atasan cukup respek pada kinerja gue, ternyata banyak rekan kerja yang punya mental babu alias jongos akibat minder pada bos. Maksudnya, suka menjilat dan cari muka pada juragan. Gue sih enggak masalah, mungkin mereka memang lagi butuh biaya untuk makan. Akan tetapi, yang gue sesalkan mereka tega menginjak dan menikam sesama teman demi menaikkan citra diri.

Ilustrasi enggak betah berlama-lama kerja (sumber pexels.com)

Belum lagi, diperparah terdapat banyak penggosipan (fitnah) yang dilakukan oleh mereka. Tentu pula, umumnya di tempat kerja lain, ada sifat-sifat tercela dari segelintir individu yang jadi pemicu perpecahan serta cakar-cakaran. Di antaranya meliputi iri (dengki), serakah (tamak), adu domba, ular berkepala dua, ingin si paling menonjol sendiri (tampak berjasa), maupun akibat kebijakan atasan yang hanya menguntungkan salah satu pihak. Seluruhnya bisa jadi biang keretakan.


Gue tak menyalahkan semua teman kerja. Sebab, ada beberapa orang yang kerja di sana nyatanya sisi manusiawinya lenyap. Di mana, mereka tak lebih dari sekadar "sapi perah." Hanya diserap dan dihisap rasa manisnya tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri (belajar, berlatih, dan memahami hal-hal baru). Jiwa dan pikiran mereka telah dipaksa mati bagai robot. Alhasil, sungguh tak bikin nyaman, apalagi memperoleh ketenangan.


Gue sangat menyadari betul, setiap tempat kerja pasti punya faktor kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sulit sekali menemukan kesempurnaan tanpa cela. Kecuali, sebuah kelemahan kecil yang pada akhirnya dipendam rapat oleh banyaknya kekuatan positif sehingga seolah hal-hal negatif jadi hilang. Terlebih, tatkala jajaran pemimpin mampu bersikap adil dan profesional, sudah dijamin para bawahannya tidak bakal neko-neko. Intinya, pekerja harus memperoleh keseimbangan hidup.


Seberat apapun profesi yang digeluti (asal gaji tetap pantas) bukan menjadi masalah bagi pekerja, saat lingkungan sangat mendukung terciptanya kesejukan. Sebaliknya, sebesar apapun gajinya (disertai beban pekerjaan "aneh" dan tak jelas atau tanpa kepastian jobdesk) tetapi nyatanya rekan-rekan kerja bermental sampah akan berisiko terhadap enggak betah berlama-lama kerja.


Perlu digarisbawahi dulu. Terkait kata "betah" dalam judul artikel ini. Tolong bedakan antara nyaman, betah, dan kuat bertahan/bersabar lantaran tak ada pilihan lain. Kenyamanan merupakan level tertinggi yang diidamkan banyak pekerja. Para pekerja yang nyaman bakal merasakan keseimbangan hidup untuk urusan pribadi dengan kepentingan pekerjaan. Hidupnya tidak semata-mata tersandera aktivitas kerja.


Sedangkan, orang kerja dikatakan betah ketika antara bayaran dengan risiko-risiko kerjaan sudah sesuai. Misalnya, gaji layak dengan jaminan kesehatan mental dan fisik tetap terjaga stabil. Adapun, kerja dengan mode "bertahan" ialah pekerja yang mengalami keterpaksaan. Berhubung sulit menemukan pengganti tempat kerja, serta barangkali gaji terbilang cukup besar, membuat pekerja masih enggan untuk hengkang.

Baca juga Pengalaman Pribadi, Lamaran Kerja Ditolak Mentah-mentah karena Pakai Kendaraan Butut

Itulah sedikit curhat dari gue. Maaf ya, tatkala apa yang gue sampaikan agak terlihat implisit (tersirat) sehingga kurang begitu berterus terang agar bisa mengena ke sudut pandang pengalaman kehidupan gue. Itu gue lakukan biar mantan atasan maupun rekan di tempat kerja gue dulu, enggak tersinggung sesudah membaca tulisan ini. Semoga bermanfaat. Tetap semangat menjalani hidup!





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Curhat Pribadi, Alasan Enggak Betah Berlama-lama Kerja di Sini"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*