Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Sebab-sebab Tinggal di Perumahan Subsidi Berisiko Besar Konflik dengan Tetangga

Banjirembun.com - Maksud hati, mau tinggal di area perumahan (walau kelas subsidi) supaya bisa fokus me time secara total. Demi gampang dalam menikmati sisa waktu yang ada untuk kesendirian di rumah saja. Dengan itu, harapannya diri sendiri mampu fokus mengembangkan potensi saat berada di dalam rumah. Misalnya, membaca dan menonton video bermanfaat di YouTube maupun medsos lainnya.


Kegiatan berikutnya yang juga tak kalah bermanfaat yaitu melakukan renungan diri, istirahat sekadar rebahan disertai dengarkan musik lewat headphone, tidur malam dengan berkualitas (berdurasi jenak dan nyenyak), hingga meluangkan diri untuk mencoba/menguasai/memahami hal-hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan masa depan. Termasuk, mendalami ilmu agama yang saat kecil dulu belum belajar tuntas.

Baca juga Kisah Sendu Ketika Gisel Difitnah oleh Tetangga Kontrakan Rumah

Suatu kesalahan besar tatkala mengira mayoritas warga perumahan subsidi memiliki wawasan, pengetahuan, dan berpengalaman tinggal di kawasan pemukiman "tertutup" yang biasanya disebut kompleks perumahan. Nyatanya, tak sedikit dari penghuni di sana merupakan jebolan alias alumni dari pedesaan ataupun andai pernah berdomisili di daerah kota, itu berupa perkampungan terbuka yang berada di pinggiran.


Konsekuensinya, mereka masih gagap dan kaget ketika pertama kali meninggali hunian di perumahan. Begitu canggung untuk hidup bersama orang-orang baru yang memiliki keberagaman (aneka ragam) agama, suku, bahasa, karakter, latar belakang keluarga, profesi, dan orientasi hidup. Artinya, kadang ada orang yang hendak memaksakan diri agar "status" maupun strata sosial tetangganya setara atau mirip dengannya.


Diperparah lagi, di kala perumahan subsidi tersebut semua rumahnya tergolong bangunan yang baru berdiri. Maksudnya, di sana belum ada para sesepuh atau pendahulu yang mengawali untuk menetap di sana pertama kali. Hampir semua serentak atau bersamaan melakukan Serah Terima Kunci (STK) dari pengembang/developer. Alhasil, enggak ada senior dan pihak yang dituakan atau ditokohkan. Tentu, kondisi mereka bagaikan anak ayam tanpa induk.


Ujung-ujungnya, beberapa warga yang barangkali menganggur karena kurang aktivitas, begitu tega melakukan perbuatan tercela. Terutama kalangan ibu-ibu dan orang tua yang sudah berumur lanjut. Di antaranya berbuat arogan (merasa si paling berkuasa), ikut campur (KEPO) urusan tetangga, gemar berhutang, ogah menjaga privasi tetangga, menyepelekan/meremehkan tetangga, curang saat arisan, menyebarkan gosip/fitnah, serta sok paling berhak memberi nasihat.

 

Contoh rumah kelas subsidi yang dibeli secara lunas/kontan (sumber foto koleksi pribadi milik bapak A. Rifqi Amin)

Nahasnya, mereka enggak sadar diri terkait level perumahan tempat tinggalnya jauh dari layak disebut sebagai rumah kategori menengah (standar kota kecil bukan kota besar) yang harganya melebihi 550 juta. Jangankan separuhnya, sepertiganya pun belum tentu genap. Perlu diketahui, rumah subsidi pemerintah di pulau jawa dihargai kisaran 165 juta. Bagaimana kalau dibandingkan dengan rumah mewah yang harganya lebih dari 2,15 miliar?


Mereka sungguh bangga, lantaran sudah sanggup beli rumah subsidi. Meski itu dilakukan secara mencicil atau kredit. Maaf, seluruh pernyataan tersebut bukan maksud menghina maupun melecehkan. Melainkan tak lebih dari sebuah saran yaitu sebaiknya sadar diri, sadar posisi, dan tahu diri. Tetaplah rendah hati. Ingat selalu peribahasa "Di atas langit masih terdapat banyak langit." Janganlah menjadi orang yang kuper (kurang pergaulan sehingga minim informasi).


Lebih tragisnya, selain ukuran rumahnya kecil (umumnya ukuran tanah antara 60-72 meter persegi dan ukuran rumah 25-40 meter persegi, tergantung developer) jarak rumah antara satu sama lainnya mepet lengket. Begitu pula jarak antar blok (rumpun rumah) juga berdekatan sehingga isi perumahannya terkesan berjubel atau berdesakan. Diimbuhi, fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) juga terbatas. Akibatnya, ruang terbuka hijau serta taman untuk sarana hiburan amat terbatas.


Ringkasnya, rumah bersubsidi berjarak rapat sekali. Ketebalan tembok begitu "tipis" sehingga sulit meredam suara benturan dari rumah sebelah. Ditambahi, sisi depannya teramat sempit. Melangkah sebentar saja, sudah bertemu halaman depan milik tetangga. Sesuai perkiraan, suara dari samping kiri-kanan (semisal suara teriakan atau sound musik keras) gampang terdengar menyebar ke segala arah. Berdampak, sering mendengar suara gaduh dan berisik di kehidupan sehari-hari. Itu semua menjengkelkan!


Boleh dibilang, bagi yang sudah terbiasa tinggal di kawasan perumahan non subsidi, berakibat kaget di waktu mencoba menempati rumah di sana untuk durasi hanya beberapa malam. Sekali lagi, dilarang berharap di sana leluasa seenaknya "mendekam" di rumah saja. Risikonya bakal dihujat dan dighibah para tetangga. Malah, makin tragis akan dirusuhi/dikrecokin/diteror atau diganggu. Maklum saja, namanya juga butuh kegiatan usil karena lebih banyak menganggurnya.


Wajar ketika banyak orang di sana yang depresi, frustasi, atau stres. Selain karena disebabkan masalah di atas, penyebab selanjutnya ialah beban pekerjaan yang berat (sebagian bekerja sebagai buruh, pekerja lapangan, satpam, kurir paket, sales, sopir truk, dan semacamnya), kalaupun jadi pegawai tetap mirisnya tingkat rendahan tanpa punya jabatan. Di sisi lain, mereka memiliki kadar pendidikan yang tak memadai. Akhirnya, cara pandang berfikirnya tentu berbeda dengan orang yang berpengalaman luas.

Baca juga Hal Buruk yang Terjadi Setelah Deal Beli Rumah Subsidi

Semua hal yang telah dijabarkan tersebut, dapat menjadi sebab-sebab tinggal (atau malah cukup mengontrak atau kos) di perumahan subsidi berdampak besar terjadi konflik dengan tetangga. Cuma perlu sedikit pemicu seperti terdapatnya rasa iri, konflik internal keluarga, bertebarnya fitnah, pelayanan/fasilitas yang tidak dibagi adil, sampai hal-hal kecil pun mampu memunculkan konflik antar tetangga. Siap-siap untuk "makan hati" bagi yang tak terbiasa menghadapi kehidupan bertetangga di perumahan bersubsidi.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebab-sebab Tinggal di Perumahan Subsidi Berisiko Besar Konflik dengan Tetangga"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*