Di sepanjang hidupku yang tak terlalu panjang, namun juga tidak bisa dibilang sebentar, ada satu nama yang tetap tinggal—meskipun tak lagi memanggil pulang. Nama itu adalah Heni. Bukan karena ia perempuan paling cantik yang pernah kutemui. Bukan pula karena ia paling baik, paling dewasa, atau paling serasi denganku. Ia tinggal karena ia adalah yang pertama.
Kami tidak pernah satu kelas, bahkan tidak pernah benar-benar dekat seperti pasangan yang saling menyatakan cinta secara verbal. Tapi cukup bagiku untuk tahu, bahwa hatiku pernah melabuhkan harap padanya. Diam-diam, dalam diam yang panjang.
Namun seiring waktu berlalu, realitas menjelma menjadi kaca pembesar. Aku mulai melihat Heni bukan hanya dari sisi yang kubayangkan dalam mimpi, tetapi juga dalam kenyataan: trauma-trauma masa kecilnya, kebandelan remajanya, ketidakstabilan emosinya, bahkan dinding-dinding yang ia bangun untuk bertahan hidup di dunia yang mungkin terlalu kejam baginya.
Aku pernah berpikir bahwa mencintai berarti menyelamatkan. Tapi sekarang aku tahu, mencintai tak harus berarti menolong, apalagi jika itu justru membuat kita hancur bersama.
Heni, bagaimanapun keadaannya hari ini, telah menjadi bagian dari masa laluku. Aku tidak tahu siapa dirinya kini, dan jujur, aku tidak punya dorongan kuat untuk mencari tahu. Karena akhirnya aku sadar, yang tersisa dalam diriku bukan Heni yang nyata, melainkan versi dirinya yang dulu: polos, sederhana, dan menjadi cermin dari ketulusan pertamaku.
Dari situ aku belajar bahwa tidak semua rasa harus tumbuh menjadi hubungan. Tidak semua orang yang membuat jantung kita berdebar layak kita perjuangkan sampai akhir. Kadang, mereka hadir hanya untuk menunjukkan bahwa kita mampu mencintai.
Kini, aku melihat semua itu sebagai monumen rasa dan pelajaran hidup. Monumen itu tidak kubongkar, tidak kuhancurkan, tapi juga tidak lagi kupuja. Ia berdiri di hatiku sebagai penanda: bahwa aku pernah mencintai dengan tulus, dan bahwa aku pernah belajar melepaskan dengan tenang.
Jika dulu aku ingin dia kembali agar aku bisa "menang", kini aku hanya ingin melangkah dengan ringan, tanpa beban rasa yang tidak mungkin ditebus. Aku ingin hidup di dunia yang nyata, bukan dalam dunia bayangan yang kubuat sendiri berdasarkan kenangan remaja.
![]() |
Ilustrasi cinta pertama yang belum sempat mekar (sumber foto pixabay.com) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cinta Pertama yang Kini Menjadi Monumen Rasa"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*