Sebuah cerita tentang cinta diam-diam, keberanian yang tertunda, dan dua jiwa yang akhirnya saling melepaskan dengan ketenangan.
Kota Kediri, Suatu Pagi yang Damai
Jonathan datang lebih dahulu. Tangannya menggenggam secarik kertas bertuliskan puisi yang dulu ia kirim ke grup alumni SMA. Sebuah puisi penyesalan. Sebuah pengakuan terlambat. Sebuah penderitaan yang terpendam lama.
Baca juga: Puisi Penyesalanku di Bawah Pohon Kelengkeng Sekolah
Percakapan yang Tertunda
Beberapa pekan sebelum pertemuan ini, Jonathan—tanpa sengaja—mengirim puisi ke grup alumni sekolah mereka. Puisi yang ia tulis dari lubuk hati terdalam.
Malam itu, ia tidak membalas di grup. Tapi diam-diam, ia mengetik pesan pribadi.
Jonathan tak berharap banyak. Tapi ternyata Heni membaca. Dan membalasnya, bukan di grup, melainkan lewat chat pribadi:
“Firasat kita sama, Jon. Kita memang saling suka.”
Kalimat itu menghentak Jonathan, seperti petir di langit yang ia kira sudah kering. Nyatanya, mendung basah masih menggumpal pekat.
Jonathan, yang sejak mengirim puisi itu, diliputi rasa malu dan takut disalahpahami, tak langsung membalas. Tapi dua jam kemudian:
Jonathan: Terima kasih sudah membaca, Hen.
Aku... baru bisa bernapas lega setelah bertahun-tahun.
Heni: Aku pikir kamu sudah benar-benar melupakan semuanya.
Tapi ternyata kamu hanya menyimpannya lebih dalam daripada aku.
Jonathan: Dan itu yang membuatku makin tersesat.
Aku ingin memperbaiki yang masih bisa diperbaiki.
Termasuk memintamu... untuk bicara secara langsung. Bukan sekadar kata-kata yang tertahan lewat layar.
Heni: Di mana?
Jonathan: Di bawah pohon itu.
Tempat yang dulu... kita berdua diam bersama.
Mereka pun sepakat bertemu. Bukan untuk membuka luka. Tapi untuk menyelesaikannya.
Flashback: Heni dan Hari Terakhir Kenangan Mereka di Sekolah
Heni masih ingat. Hari terakhir menjelang kelulusan sekolah, ia datang dan duduk di bawah pohon kelengkeng. Menghampiri Jonathan yang lebih dulu duduk di atas kursi semen. Sesudah Heni datang, duduk, lalu Jonathan pergi tanpa sepatah kata terucap.
Heni berharap akan ada kata yang membenarkan semua firasat. Tapi tak ada. Jonathan terlalu belia untuk berkata jujur dengan elegan.
Padahal, Heni sudah menyiapkan semuanya: keberanian, ekspresi, bahkan jawaban jika ia ditanya tentang "perasaan."
Sayangnya, tak ada yang terjadi. Sunyi, tetapi tak dingin. Menyakitkan, tetapi tak bisa menjelaskan. Amarah, tetapi tanpa rasa membenci.
Yang tertinggal dalam diri Heni hanyalah harapan patah dan satu tulisan di halaman belakang buku hariannya:
“Tidak semua firasat berujung keberanian. Kadang, orang yang kita tunggu justru takut membuka pintu.”
Dan Kini Mereka Bertemu Lagi
Satu bulan setelah percakapan di chat, Heni dan Jonathan bertemu. Mereka duduk di bangku berbeda, saling berhadapan di bawah pohon kelengkeng.
Mereka tak lagi muda. Tapi yang tertinggal di antara mereka bukan sekadar masa lalu, melainkan ruang kosong yang akhirnya bisa diisi dengan kejujuran.
“Aku dulu ingin jujur, tapi takut kehilanganmu,” kata Jonathan.
“Dan aku menunggu, tapi akhirnya memilih pergi,” balas Heni, pelan.
Tak ada amarah. Tak ada air mata. Hanya kesadaran bahwa mereka pernah saling menanti dalam diam, dan akhirnya… bisa berbicara dengan tenang.
Sebuah Kelegaan, Firasat yang tak lagi Membeku
Tepat di bawah pohon kelengkeng sekolah yang kini lebih besar, lebih tua, tapi masih setia berdiri menemani guru dan siswa.
Kali ini, tidak ada yang terburu-buru pergi. Tak ada lagi kebingungan. Enggak ada lagi kecanggungan.
Kali ini, mereka bicara lepas.
Kali ini, mereka saling memandang dan tersenyum tanpa perlu menyembunyikan.
“Aku dulu menunggumu bicara,” kata Heni.
“Dan aku dulu berharap kamu tahu tanpa aku bicara,” jawab Jonathan. “Bodohnya aku. Firasat tanpa ucapan hanya jadi beban batin.”
Heni mengangguk. “Tapi sekarang kita di sini.”
Sebelum pulang, Jonathan menyerahkan surat pribadi serta puisi pada masa SMA yang sudah terlalu lama tertimbun kenangan —ditulis oleh remaja di saat hati bimbang, di lantai dua Masjid depan sekolah yang kawasannya rindang ini.
![]() |
Ilustrasi penyesalan di hari tua karena mengabaikan firasat saat remaja (sumber foto pixabay.com) |
Heni membaca sekilas puisi itu. Lalu berkata, “Aku akan menyimpan ini. Bukan untuk menghidupkan kembali masa lalu, tapi untuk mengenang bahwa pernah ada rasa yang jujur—walau datang terlambat.”
Setelah bicara selama satu jam, mereka berjalan ke halaman depan sekolah. Sebelum berpisah, Jonathan berkata:
“Aku tidak datang untuk meminta masa lalu kembali,” ucapnya.“Aku datang untuk mengucapkan kalimat yang dulu tak sempat terucap.” imbuh Jonathan.
“Dan, aku pun datang… untuk memaafkan. Termasuk memaafkan diriku sendiri yang terlalu berharap,” sahut Heni.
Angin berembus. Daun kelengkeng melambai lembut. Dan kali ini, pohon itu tidak lagi membisu. Seolah, tumbuhan itu ikut berbahagia!
Penutup: Sebuah Damai yang Tak Terlambat
Hari itu, dua jiwa yang pernah saling menunggu tanpa kata, akhirnya bisa saling melepaskan dengan tenang.
Cerita ini memang tidak pernah mengubah masa lalu, tetapi memberi penutupan yang sehat bagi keduanya. Jonathan dan Heni memang tidak berakhir bersama secara romantis.
Tetapi, mereka berhasil berdamai, berpelukan dalam kesadaran, bukan lagi sekadar kenangan yang menyiksa.
Firasat akhirnya menjadi kenyataan—bukan untuk memiliki, tapi untuk saling memahami. Mereka sudah tahu tanpa ragu bahwa pernah saling mencintai dalam diam.
#CeritaFiksi
#CintaMasaLalu
#PohonKelengkeng
#Katarsis
#JonathanDanHeni
#PuisiMenjadiProsa
#CeritaSekolah
#PertemuanKembali
Cerita pendek ini diedit dan telah mengalami banyak perubahan, yang diambil dari hasil buatan ChatGPT sebagai kecerdasan buatan.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Ketika Firasat yang Sama Bertemu Terlambat: Kisah di Bawah Pohon Kelengkeng"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*