Di era media sosial, kesuksesan sering diukur dari berapa banyak toko yang dimiliki, seberapa mahal outfit yang dikenakan, atau seberapa sering seseorang update story dengan nuansa bahagia. Tapi, apakah itu cukup untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar stabil? Bahagia?
Kini, H tampak berhasil. Ia punya toko, konten media sosialnya ramai, bahkan mungkin sering muncul sebagai sosok “inspiratif.” Tapi, jujur saja… aku masih bisa melihat luka di balik sorot matanya. Kadang dari cara ia menulis caption, kadang dari ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
Stabilitas sejati lahir bukan dari pencitraan atau sokongan orang tua dan pasangan. Stabilitas muncul saat seseorang berdamai dengan masa lalunya — dengan luka yang dulu tidak sempat ditangisi, dengan keputusan-keputusan yang diambil bukan karena tekanan, tapi karena kesadaran utuh sebagai pribadi.
H tampak kokoh dari luar. Tapi aku menduga, di dalam sana, ia masih bertanya-tanya:
“Apakah semua ini benar-benar aku? Atau aku hanya sedang menuruti apa yang orang-orang ingin lihat dariku?”
Semoga tulisan ini jadi pengingat bagi siapa pun:
Kesuksesan yang dibangun tanpa fondasi batin yang damai hanya akan jadi pencapaian yang sunyi.Dan kadang, orang yang paling terlihat ‘berhasil’... adalah yang paling takut pulang ke dalam dirinya sendiri.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
![]() |
Ilustrasi terjadinya dialektika antara kepalsuan dengan kebenaran (sumber foto pixabay.com) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Stabilitas yang hanya Kulit: Ketika Kesuksesan tak Menjamin Kedamaian Batin"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*