Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Filosofi Dua Ungkapan Bahasa Jawa "Tansah Eling Lan Waspodo" dan "Sing Ati-ati Momong Jiwo Rogo"

Banjirembun.com - Galau, sedih, ragu, gelisah, khawatir, cemas, takut, curiga, was-was, pesimis, hingga terburu-buru merupakan sebagian dari ciri orang yang kehilangan "kesadaran" dan pengendalian diri. Maksudnya, barangkali disebabkan pikirannya sedang kosong tanpa dipegang alias dikendalikan, terutama tatkala kondisinya sedang menganggur sendirian. Di mana, keadaan tersebut berkaitan erat dengan dua ungkapan bijak bahasa jawa yaitu "Tansah eling lan waspodo" dan "Sing ati-ati momong jiwo rogo."


Kalimat tansah eling lan waspodo memiliki arti selalu ingat dan waspada. Maknanya, dalam setiap tindakan dan perkataan mesti tetap "terjaga" dan "sadar" agar tak lalai (teralihkan ke hal negatif) sehingga senantiasa aman dan nyaman. Dengan kata lain, itu demi mampu selamat dari musibah/masalah. Adapun, sing ati-ati momong jiwo rogo berarti yang hati-hati saat merawat/menjaga/menemani jiwa dan raga. Artinya, kesehatan mental maupun fisik harus terus konsisten stabil demi sanggup mempertahankan kewarasan lahir dan batin.


Baca juga Arti Peribahasa dalam Bahasa Jawa "Ora Usah Duwur Pokok Iyup, Ora Usah Kesuwur Pokok Guyub"


Dengan memahami apalagi menghayati tentang semangat tansah eling lan waspodo dan sing ati-ati momong jiwo rogo membuat individu akan menjadi manusia seutuhnya. Yakni, insan yang ahli dalam mengendalikan pikiran dan badan guna dipakai/dimanfaatkan semestinya. Kenapa penting "menguasai"  raga sendiri? Bayangkan saja, ketika otak begitu sembrono serta asal-asalan dalam menggerakkan jasad, hasilnya sudah barang tentu berakibat diri pribadi kayak tak ada harganya. Alhasil, kesulitan dalam menempatkan diri.


Boleh dikata, dengan menerapkan dua filosofi jawa di atas dapat menjadi bagian dari ciri orang yang punya jati diri (di antaranya meliputi harga diri, prinsip hidup, ideologi, latar belakang kehidupan, pedoman, dan masih banyak lagi). Konsekuensinya, seseorang yang tidak "ingat," mawas diri, maupun merawat jiwa-raga bakal berujung pada perbuatan sia-sia dan melampaui batas. Pendek kata, mirip anak ayam yang kehilangan induk yang aktivitasnya tanpa kontrol atau panduan.

Ilustrasi sedang melamun (pexels.com/ Michael Burrows)

Di antara contoh akibat perilaku yang kehilangan pengendalian diri seperti di atas ialah mengabaikan perintah agama, melanggar hukum negara, mayoritas kegiatan dalam satu hari penuh sekadar melamun/murung diri (bukan merenung terlebih lagi intropeksi), emosional (mudah marah, melankolis, senang berlebihan, terlalu nekat, minder, dan lain-lain), gampang terpancing/tersinggung/tergoda/tersulut, over reaktif (cepat bereaksi dan menanggapi secara berlebihan), sampai menghina kearifan lokal di muka publik.


Kenapa Zaman Sekarang ini Sangat Sulit Momong Jiwo Rogo, Eling, lan Waspodo?

Sebagaimana diketahui bahwa zaman dahulu sangat sedikit sekali media atau sarana hiburan. Akhirnya, salah satu langkah untuk mengisi kesendirian serta kekosongan waktu terkadang dengan cara berkumpul bersama atau dalam bahasa jawanya srawung (misalnya bertetangga, ikut organisasi masyarakat, rajin ke rumah ibadah, gotong royong, bekerja bersama-sama di kebun/sawah/ladang, dan lain sebagainya). Dengan begitu, pikiran terhindar dari sifat kosong sehingga masih mempunyai kendali diri.


Lagi pula, masa dulu persaingan dan konflik sosial bukan terjadi secara kompleks dan rumit seperti era kini. Dahulu kala, kehidupan manusia amat mudah ditata. Perebutan/sengketa kekuasaan, harta, popularitas, ataupun pengaruh terselenggara begitu singkat-cepat. Meski kerap terdapat peperangan fisik, nyatanya secara alami itu merupakan bagian dari seleksi alam. Tanpa disertai dengan konflik yang berkepanjangan, berlarut-larut, atau terkatung-katung.


Akibatnya, eksistensi peradaban manusia dapat diprediksi alur dan polanya. Boleh dibilang, hasil penanganannya mudah dipastikan. Alasannya, kumpulan manusia (masyarakat) begitu terbatas serta terlambat dalam memperoleh akses informasi. Akhirnya, setiap gesekan sosial begitu gampang diminimalisir dan dilokalisir. Bahkan, banyak orang yang begitu fanatik pada tokoh maupun adat istiadat. Bukan malah layaknya masa modern ini yang semakin tampak terwujudnya ketidakpastian.


Berbanding terbalik dengan zaman sekarang, yang faktanya banyak "zombi-zombi" memegang HP. Alih-alih mau bersenda gurau dengan orang sekitar, justru saling menyapa pun tidak. Dengan maksud lain, kalau bukan orang yang "dibutuhkan" maupun dianggap penting, enggak bakal dibaik-baikin. Masing-masing terlalu asik dengan dunia fantasi sendiri yang begitu mudah ditemukan di HP. Tatkala membuka media sosial (medsos) seolah dunia ini berada di genggaman. Jiwa dan pikiran bisa melalang buana ke mana-mana.


Parahnya, ketika berkendara juga masih main HP yang menyebabkan konsentrasi terpecah. Jangankan statusnya eling (ingat), waspada pun tidak terjadi. Lebih tragis, sembari lihat layar HP ternyata dalam berkendara juga sedang terburu-buru. Padahal, tak jarang mengendarai motor dan mobil walau hanya disertai melamun ataupun terkantuk telah dapat memicu kecelakaan serta tersendatnya arus lalu lintas. Apalagi, berkendara sambil main HP tentu lebih berisiko.


Dalam kasus lebih sederhana, fenomena individu yang kehilangan kesadaran (pikiran kosong) serta mengabaikan kontrol raga dapat mengakibatkan perilaku buruk saat online (dalam jaringan). Bukan melulu terkait terus-menerus membiarkan jasad rebahan main HP, tetapi dapat merugikan keuangan dan terganggunya kesehatan mental. Lebih lengkapnya untuk mengetahui hal tersebut silakan baca 7 Akibat Buruk Memilih Online "Tak Jelas" saat Lagi Galau dan Pikiran Sedang Kosong.


Lebih lanjut, konsep eling lan waspodo serta sing ati-ati momong jiwo-rogo merupakan ajakan kepada umat beragama untuk selalu terhubung kepada Tuhan Maha Pencipta. Detailnya, hal itu diterapkan utamanya di waktu beribadah sehingga seorang hamba akan meyakini seolah-olah ia bisa melihat-Nya atau sebaliknya seakan-akan Dia Yang Maha Agung melihat dirinya berbuat amal saleh. Dengan itu, harapannya setiap insan menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan, punya akhlak mulia, dan tercipta kebahagiaan (kedamaian dan ketenangan diri).






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Filosofi Dua Ungkapan Bahasa Jawa "Tansah Eling Lan Waspodo" dan "Sing Ati-ati Momong Jiwo Rogo""

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*