Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

5 Kelakuan Negatif Lulusan S3 yang Bergelar Doktor, Sungguh Tak Layak Dilakukan oleh Orang Berilmu Tinggi

Banjirembun.com - Gelar yang tinggi belum tentu selaras dengan ilmu yang dimiliki, diimbuhi lagi "belum tentu" sesuai dengan akhlak (kelakuan) buruk yang sudah terlanjur jadi kebiasaan sedari muda. Pernyataan itu juga berlaku bagi sarjana lulusan S3. Banyak alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Salah satunya, setelah lulus kuliah mereka berhenti mengais dan mendalami ilmu. Jangankan sekadar membaca buku, melakukan pengembangan ilmu pengetahuan pun tidak dilakukan. Kecuali, dibiayai negara ataupun kampus baru mau bertindak.


Alhasil, seorang doktor terkadang memang telah layak menyandang gelarnya karena memenuhi syarat administrasi (misal lulus semua perkuliahan dan menuntaskan disertasi sebagai tugas akhirnya). Akan tetapi, nyatanya kadang capaian itu hanya di atas kertas. Cuma lulus di bangku perkuliahan. Sayangnya, tatkala diuji/diterapkan pada kehidupan nyata di masyarakat kemampuan yang dimiliki belum mumpuni supaya "lulus." Akibatnya, alih-alih menjadi insan bermanfaat, justru menjadi manusia yang merugikan banyak orang.


Berikut ini kelakuan yang sungguh tidak pantas diterapkan oleh orang yang memiliki gelar doktor:


1. Sifat Dendam yang Terkesan Kekanak-kanakan

Semestinya, setiap doktor mampu menjadi teladan kebaikan bagi sesama. Perbuatan negatif yang dilakukan oleh orang awam saja tak diperbolehkan, apalagi ketika yang menjalankannya seorang berilmu tinggi? Tentu semakin dilarang! Nah, salah satu contoh perbuatan buruk yang layak untuk ditinggalkan oleh seorang doktor yaitu sifat dendam. Di mana, maksud dendam di sini bukan cuma membenci. Melainkan, ada keinginan untuk menjatuhkan dan menyulitkan langkah pihak tertentu.

Ilustrasi lulusan pendidikan tinggi (sumber pixabay)

Diperparah lagi, gaya menyerang yang diterapkan sangat agresif serta brutal alias arogan. Tentu, hal itu jauh dari kesan manusia berpendidikan. Kalau memang sudah lulus kuliah S3, seyogyanya diiringi dengan perubahan sifat yang jauh lebih elegen dan bijaksana. Jika sikapnya masih sama dengan yang lain maka apa bedanya antara lulusan jenjang pendidikan terpuncak dengan yang di bawahnya? Jangan jadikan kuliah S3 sebagai adu gengsi dan mencari duit semata (kelancaran karir profesi).

 

2. Mesum atau Genit di Media Sosial

Kemesuman kadang bukan melulu dilakukan saat chat privat. Lebih mengenaskan lagi, kegenitan itu diumbar di status media sosial. Baik berupa tulisan, foto, audio, maupun video. Sudah barang tentu, sesuatu yang mesum itu mudah diketahui publik. Tak kalah memalukan, di media sosial mereka sering memposting sesuatu yang tak bernilai positif. Apa yang dibagikan itu enggak lebih dari sebuah perbuatan sia-sia dan melampaui batas kepatutan. Lulusan S3 tetapi miskin alias minim etika-moralitas


3. Debat Kusir di Medsos

Sesama lulusan S3 kadang satu sama lain saling berdebat. Sayangnya, bukan debat berkualitas yang berefek baik bagi ilmu pengetahuan. Malahan, level adu argumen yang dilakukan berupa debat kusir. Kalau sudah begitu, patut untuk dipertanyakan di mana fungsi materi-materi keilmuan yang mereka serap tatkala kuliah? Ke manakah berbagai sumber bacaan yang mereka resapi semasa perkuliahan? Kok masih berdebat kusir layaknya orang yang tidak mengenyam pendidikan.


4. Memanipulasi Data

Bentuk manipulasi data yang dilakukan oleh sebagian orang yang bergelar doktor meliputi administrasi (agar karir melesat, proposal lolos, dan mengelabui pengawas), keilmuan (plagiasi, fabrikasi, dan falsifikasi), dan keuangan (menggarong/korupsi dan menyuap). Semua tindakan manipulasi tersebut, bukan sekadar menghancurkan keilmuan yang sudah dipunyai. Lebih tragis, menghambat pengembangan ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, laju peradaban masyarakat juga ikut melambat.


5. Sombong Atas Keilmuan ataupun Prestasi yang Diraih

Seorang doktor harus memegang filosifi tumbuhan padi. Artinya, makin berbobot atau matang ilmunya semakin menunduk. Oleh sebab itu, kalau levelnya lulusan S3 dilarang kelas berkepribadian layaknya anak kecil yang berbangga diri ketika mendapatkan piagam penghargaan dan piala kemenangan. Bukankah sebuah kewajaran saat orang berilmu tinggi meraih prestasi tertentu? Apalagi, mereka punya sarana dan mengetahui metode untuk mendapatkan impiannya tersebut.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Kelakuan Negatif Lulusan S3 yang Bergelar Doktor, Sungguh Tak Layak Dilakukan oleh Orang Berilmu Tinggi"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*