Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Seni Komunikasi dengan Cara Mengalah dan Katakan "Iya" Dulu, Baru Kemudian Menikam dengan Senyuman

Banjirembun.com - Dalam komunikasi apapun itu, apalagi terkait hal penting yang menyangkut keuangan dan harga diri (nama baik), semestinya ada strategi dan taktik. Termasuk di dalamnya juga tentu ada metode, kaidah, siasat, rumus, pola, atau alur tertentu yang wajib diperhatikan betul. Jangan sampai mengalami "terjatuh" untuk kedua kali gara-gara salah dalam memahami seni komunikasi yang diterapkan individu lain.


Seorang yang punya niat, maksud, atau tujuan tersembunyi di balik kata-kata maupun tulisan di media sosial yang telah dilontarkan/dilemparkan faktanya terkadang "dibelokkan" dulu dengan memberikan isu lain. Bahkan kadang kala, pihak yang jadi target atau sasaran diminta untuk melakukan hal-hal lain alias dialihkan dahulu ke arah tertentu yang seolah-olah hal tersebut terkait langsung dengan "kesepakatan" bersama. 

Baca juga Memahami Tertawa dari Berbagai Makna

Padahal, pembelokan di atas hanya sebagai alat untuk menekan atau mengintimidasi (menakut-nakuti) secara "lembut." Selain itu, biar bisa menjadi bukti kepada calon korbannya bahwa ia telah serius berjuang. Nyatanya, sejauh ini bentuk kontribusi yang dia berikan hanya pepesan kosong belaka. Ujung-ujungnya, tujuan utama dari komunikasi yang dilakukan tetap dijalankan. Walau mungkin tidak berhasil 100% tapi seenggaknya tercapai 75% sudah bagus.



Misalnya, ada manajer salah satu pengelola usaha manajemen jasa pengurusan jual-beli properti (tanah, rumah, ruko, apartemen, villa, dan lain-lain). Di mana, ada salah satu calon konsumen yang masih awam sehingga tampak sekali berwajah polos layaknya pemula pada umumnya. Gelagatnya belum pernah pengalaman terkait masalah jual-beli properti. Dengan berbagai cara, pihak manajer tersebut akhirnya tahu betul bahwa calon korbannya berpeluang jadi mangsa empuk.


Pelanggan di atas mendatangi kantor usaha jasa properti guna membeli rumah. Dia terlihat sangat antusias dan bersemangat untuk segera memiliki rumah dari hasil jerih payah sendiri. Singkat cerita, dengan lugunya dia bertanya "Pak apakah saya bisa mendapatkan rumah dengan rentang harga 350-387 juta di wilayah Kelurahan Dolanku Kota Banjir Embun yang posisinya di tak jauh dari jalan raya?" Tentu dengan nada bicara merendah dan terkesan mengalah seakan posisinya di bawah, si manajer menjawab "Tentu bisa Bapak!"


Si manajer melanjutkan "Baik Pak, kami akan carikan rumah di daerah tersebut dengan harga dan lokasi terbaik untuk Bapak." Padahal, ternyata sebenarnya pihak manajer sudah punya aset rumah di area yang dimaksud serta telah siap atau ready dijual ke pada konsumen. Dengan kisaran harga dan spesifikasi amat mendekati kriteria yang diinginkan konsumen. Potensi disukai dan dibeli oleh pelanggan melebihi 80%, dengan status pasti bikin menarik hatinya.


Berkaitan hendak mengambil hati calon korban, manajer itu ingin menunjukkan kesan sedang menspesialkan pelanggan dengan cara berkata "Untuk rumah yang Bapak kehendaki, saya carikan dulu." Hal itu diterapkan agar pihak korban tahu bahwa dia butuh upaya berjuang untuk mendapatkan aset rumah yang diinginkan. Barulah, beberapa hari kemudian manajer menghubungi "Maaf Bapak, untuk rumah yang kami carikan sudah ada. Kapan Bapak punya jadwal untuk agenda survei ke rumah tersebut?"

Ilustrasi sedang menghormati konsumen (sumber pexels.com)

Dalam agenda survei lapangan di atas, strategi komunikasi si manajer sungguh canggih. Dia terus merendah, mengalah, dan hampir seluruh perkataan maupun pertanyaan dari konsumen dijawab "Iya." Kendatipun menyanggah, ucapan yang dikeluarkan amat diplomatis dan cenderung ambigu disertai full senyuman. Baginya, terpenting konsumen nyaman dulu sehingga bakal fanatik untuk memakai jasa darinya. Alhasil, segala harapan dan kemauan dari konsumen disanggupi dulu dengan penuh kesopanan.


Masalah nanti harus direvisi/dirubah, itu urusan belakang. Andai terdapat perubahan, hal tersebut pasti tetap terkesan alias terlihat sangat menguntungkan di mata target. Misalnya calon korban bertanya "Untuk rumah nanti kalau bisa tipenya 50/75, model rumahnya modern minimalis, dan jalan akses mobil." Kemudian calon pembeli bertanya "Oh iya, nanti pembayaran bisa lewat transfer ke rekening atas nama CV ini kan?" Semua akan dijawab iya atau setidaknya diberi alternatif lain dulu. Setelah situasi memungkinkan, baru nanti hasil revisi diajukan ke korban.


Nah, agar tetap aman dari "gugatan" atau sanggahan dari pembeli, tentu dia enggak berhasrat banyak ngomong apalagi memberikan janji-janji. Artinya, mayoritas kata-kata yang keluar darinya hanya menanggapi dan menyanggupi apa dikatakan oleh pelanggan. Masalah nanti mampu memenuhi permintaan konsumen urusan belakang. Terpenting, dia harus membangun citra sebagai pihak profesional dan paling memiliki pengaruh besar (berjasa) dalam urusan transaksi tersebut.


Beberapa hari kemudian manajer menghubungi "Maaf Bapak, ternyata rumah yang Bapak pilih dihargai 396 juta." Nyatanya, harga sebenarnya yang sudah direncanakan sebelumnya yaitu 385 juta. Angka awal yang segitu, pihaknya sudah memperoleh untung bersih sebesar 22 juta. Disebabkan, konsumen terlihat sangat berminat dan sudah tampak percaya (pasrah total) pada si manajer diputuskan harga dinaikkan. Kalaupun pembeli akan menawar, harga turunnya masih lebih dari 384 juta.


Meski menaikkan harga, akan tetapi si manajer masih layak disebut "berjasa" besar dalam membantu pembelian rumah. Salah satu alasannya dia pakai retorika "Harga tersebut sudah kami usahakan semaksimalkan mungkin untuk bisa diturunkan. Akhirnya ada titik tengah, dengan perubahan harga menjadi 385 juta." Maksudnya, turun 11 juta yang awalnya berharga 396. Bahkan, konsumen mengira dia telah mendapatkan keuntungan 11 juta dari jasa yang diberikan manajer.


Itulah seni komunikasi mengalah dan katakan "iya" dulu pada lawan bicara. Baru kemudian menikamnya dengan senyuman. Di mana, aksi senyuman itu bukan bermaksud bentuk kepuasan diri telah berhasil mencapai target. Justru sebaliknya, tertawa ramah sengaja ditunjukkan supaya konsumen tetap nyaman dan merasa tetap menjadi raja yang wajib dihormati serta diagungkan. Malahan, mungkin yang disunggingkan berupa senyuman memelas seakan-akan tak dapat untung banyak, demi mendapat belas kasihan konsumen.

Baca juga Perilaku Pihak Penjual, Sales, dan Broker Jual Beli Properti yang Patut Diwaspadai

Perlu diketahui saja, kalau pihak manajer memberikan senyum 'kepuasan diri' berakibat bakal membuat konsumen curiga dan tersinggung. Pembeli akan bertanya-tanya "Kenapa dia kok senyumnya begitu penuh kegirangan, apakah laba yang dia terima sangat banyak? Berarti saya telah menjadi korban pembodohan dong?" Pada ujungnya nama usaha manajemen jasa jual-beli properti itu lambat laun hancur lantaran tak direkomendasikan kepada orang lain yang membutuhkan.


Sebagai kalimat penutup, patut disadari bahwa tidak semua seni bersifat indah untuk dinikmati. Di sisi lain, ada karya seni yang berakibat sakit hati dan rasa kecewa setelah tahu kandungan nilai tersembunyi di baliknya sungguh teramat jahat. Bagaimanapun, fakta memperlihatkan terdapat seni yang tak memakai etika-moralitas maupun logika waras. Termasuk pula dalam seni berkomunikasi. Intinya, tidak semua hasil seni mesti diapresiasi dan dijunjung tinggi.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Seni Komunikasi dengan Cara Mengalah dan Katakan "Iya" Dulu, Baru Kemudian Menikam dengan Senyuman"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*