Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Berhati-hatilah dalam Menceritakan Nikmat, Sebagai Wujud Rasa Syukur Pada-Nya atau Cuma Pamer?

Banjirembun.com - Umat Islam diajarkan untuk senantiasa menciptakan suasana positif di setiap kesempatan. Dengan begitu, diharapkan bakal muncul situasi yang penuh kreativitas dan produktivitas. Faedah lainnya yaitu dapat memunculkan sikap optimisme. Alhasil, setiap pribadi di lingkungan itu menjadi bersemangat dan pantang menyerah.


Cara untuk menciptakan suasana positif bisa berupa memberi senyum, mengucap salam, mengajak berjabat tangan, menyampaikan kabar gembira, hingga bersedekah (memberi hadiah, menolong, atau membantu). Sebaliknya, kalau enggak mampu membangun kondisi positif sebaiknya sangat dilarang melahirkan aura negatif di sekelilingnya.

Baca juga 5 Sisi Kelam di Balik Perilaku Pamer Kesempurnaan Tubuh, Pekerjaan Mapan, dan Harta Melimpah

Nah, dengan menceritakan nikmat sebagai wujud rasa syukur barangkali juga berakibat positif. Di antaranya menjadi bagian dari motivasi yang bagus untuk menghidupkan gairah. Kendati demikian, tetaplah harus berhati-hati dalam memberitahukan nikmat tersebut. Salah-salah, bukannya berefek baik malah berdampak pada ketidaknyamanan.


Takutnya, niat baik di atas akan disalahpahami oleh orang yang menerima kabar penuh nikmat tersebut. Padahal, maksud hati ingin berbagai perasaan penuh syukur lantaran memperoleh kenikmatan. Namun, yang terjadi mendapat tanggapan berbeda dari orang lain. Yakni, disangka sebagai bentuk pamer.


Walau tujuan berbagi kabar indah itu hendak menunjukkan bukti adanya Keagungan Allah Subhanahu wa ta'ala, ketika salah memilih kata dan keliru dalam menempatkan (waktu, tempat, dan pihak yang menerima berita) berisiko buruk terhadap kenyamanan bersama. Oleh sebab itu, butuh strategi cerdas dalam menceritakan nikmat.


Perlu diketahui sejumlah tips dalam mengabarkan nikmat. Pertama, jaga niat sampai akhir hayat agar tetap ikhlas dan tidak tercemari oleh maksud-maksud jelek. Kedua, ceritakan pada orang-orang terdekat dan yang terpercaya saja. Ketiga, pilah dan pilih hal apa saja yang "layak" untuk diceritakan agar tidak menjerumuskan diri pada sifat pamer. 


Salah satu landasan utama terkait perintah untuk berbagi cerita tentang kenikmatan yang diperoleh adalah sebagaimana firman Allah ta'ala dalam QS al Duha (93) ayat 11:


وَاَ مَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Terjemahannya:

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)."

Tampilan aplikasi al Quran digital (sumber gambar koleksi pribadi)


Maksud dari ayat di atas menurut sebagian pendapat Ulama yang menafsiri yaitu anjuran untuk menceritakan, mengabarkan, menyebutkan, atau menyiarkan nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Salah satu manfaatnya ialah untuk memperlihatkan sifat Maha Kuasa Allah yang mudah membolak-balikkan roda kehidupan manusia


Dari yang awalnya dulu dikenal sebagai orang yang "bukan siapa-siapa" maupun dianggap sebelah mata, seolah tiba-tiba berkat rahmat-Nya sekarang menjadi manusia sempurna. Misalnya, dulu masa kecil kondisinya miskin tidak terurus sehingga dinilai "tak punya masa depan." Akan tetapi, kini setelah dewasa keadaan berubah menjadi kaya raya. 


Tentunya pula, mesti dibarengi bentuk puji-pujian dan ucapan rasa syukur kepada-Nya. Agar orang yang mendengar serta mengetahui "sadar" bahwa semua itu berasal dari-Nya. Dengan begitu juga, orang-orang yang mendengar kabar bahagia menjadi tahu secara nyata tentang Kebesaran Allah yang telah mengangkat derajat insan di mata manusia lainnya.


Bagaimanapun, menyebut-nyebut nikmat merupakan wujud nyata dari rasa syukur. Bayangkan saja, tatkala ada Muslim yang dianugerahi sesuatu yang melimpah tetapi dia pilih diam saja. Peluang muncul sifat ujub, takabur, dan lupa pada Allah semakin besar. Mengira bahwa apa yang dicapai berkat jerih payah dan kerja kerasnya (tanpa menyebut atas rahmat-Nya).


Jadi, salah satu fungsi menceritakan nikmat adalah bukti penghambaan dan pengakuan seseorang atas rahmat yang diterima dari-Nya. Gambaran mudahnya, saat seseorang menerima "hadiah" dari orang lain bakal menyebarkan tentang informasi adanya "orang baik" tersebut pada khalayak. Dengan kata lain, mengabarkan nikmat juga menjadi bagian cara "berterima kasih".


Dengan demikian, di kala niat menceritakan nikmat yang dimiliki sudah benar berarti perbuatan tersebut masuk kategori ibadah. Artinya, kalau dikerjakan berpotensi mendapatkan pahala. Apalagi nyatanya ketika diketahui sebaliknya bahwa menyembunyikan nikmat dengan "maksud jahat" bisa mendatangkan dosa karena dinilai telah mengkufuri nikmat.


Nikmat Ibadah, Iman, dan Ihsan Bolehkan Disebarkan?

Lantas bagaimana hukumnya menceritakan kenikmatan saat beribadah, sedang mengalami fase iman kuat (bertambah), dan mendapat kelezatan ihsan ("terhubung dengan Allah")? Jawabannya boleh. Akan tetapi, dengan syarat niatnya mencari ridho Allah serta diterapkan secara tepat (hati-hati dan presisi) supaya tak menimbulkan salah paham.


Lebih lanjut, apa bedanya antara menceritakan nikmat dengan tindakan pamer? Jawabannya dalam perilaku pamer mengandung unsur membanggakan diri, lalu merasa lebih "wah" dibanding orang lain. Sedangkan, pada tindakan bercerita kenikmatan mengandung niat baik bagi sesama. Salah satunya, ingin menginspirasi dan mengajak "kembali" pada Allah.


Hal berbanding terbalik juga wajib dilaksanakan. Yakni, dilarang memberitahukan dosa-dosa yang pernah dilakukan kepada siapa pun. Di mana, jika Allah Subhanahu wa ta'ala sudah menyembunyikan aib dan keburukan dirinya maka sungguh tak pantas justru hamba-Nya menceritakan perilaku yang melanggar agama tersebut pada orang lain.

Baca juga Arti Takabur dan Ujub Beserta Perbedaannya 

Dengan demikian, berbangga-bangga pada kenikmatan merupakan suatu larangan. Begitu pula, berbangga-bangga pada pelanggaran agama juga diharamkan. Intinya, membanggakan diri pada sesuatu hal apapun tetap termasuk perbuatan dosa. Meskipun, salah satunya bangga bercerita terkait dosa yang pernah dilakukan di masa lalu.


Sebagaimana kita ketahui bersama, tujuan utama berbangga yaitu ingin mendapatkan pujian atau setidaknya pengakuan dari orang lain bahwa dirinya lebih unggul. Dampaknya, menimbulkan rasa iri atau hasad dari orang lain. Hasilnya, manusia yang berhati busuk terpancing untuk "mengambil" kenikmatan yang dimiliki oleh orang yang telah bercerita.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Berhati-hatilah dalam Menceritakan Nikmat, Sebagai Wujud Rasa Syukur Pada-Nya atau Cuma Pamer?"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*