Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Dulu Bangga Diri karena Tak Lulus Sekolah dan Tidak Kuliah pun Bisa Cari Duit, Sekarang Menangis Berdarah-darah

Banjirembun.com - Roda kehidupan ini selalu berputar, kadang di atas tapi kadang di bawah. Pola perputaran takdir seperti itu bukan hanya berlaku bagi individu alias orang per orang. Akan tetapi, juga terjadi pada kelompok atau komunitas tertentu. Artinya, boleh jadi sebuah kaum atau golongan tersebut di suatu waktu berada di atas tapi di hari mendatang posisinya di bawah.


Zaman dahulu para manusia buta huruf, tidak gemar baca, dan tak mau terikat sistem pendidikan teramat bangga diri lantaran merasa gampang cari duit untuk makan. Parahnya, mereka dulu sangat tega mengejek PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan sebutan budak negara. Alasannya, gajinya cuma sedikit tapi tampilan serta aktivitas layaknya orang kaya.

Baca juga 8 Pekerjaan Berpenghasilan Tinggi Tahun 2022 Tanpa Gelar Sarjana

Faktor minimnya tingkat baca masyarakat pada era masa lalu bukan semata-mata disebabkan karena buta huruf. Terutama, disebabkan tak lulus sekolah. Melainkan pula, akibat mayoritas generasi bangsa terdahulu memang malas membaca. Buktinya, di zaman media sosial (medsos) sekarang ini banyak yang telaten dan berlama-lama membaca aneka "tulisan" di medsos.


Jadi, dari sini dapat dipahami bahwa lulusan pondok pesantren atau lembaga pendidikan agama murni (tanpa ilmu umum), dikategorikan telah menempuh jalur pendidikan. Lagian, di tempat tersebut juga diajarkan membaca dan menulis. Lebih dari itu, di pesantren juga mengajarkan tentang pendidikan kemasyarakatan. Intinya, di sana terjadi interaksi untuk memberi serta menerima ilmu pengetahuan.


Sebagaimana diketahui bahwa jalur pendidikan ada tiga. Di antaranya meliputi pendidikan formal, non formal, dan informal. Nah, untuk pesantren era dulu kebanyakan jalur pendidikannya bersifat non formal. Artinya, selama menempuh proses pembelajaran salah satu dari ketiganya, masih amat sesuai tatkala disebut peduli terhadap pendidikan.


Sekarang hal kebalikan terjadi. Kini, banyak pihak yang dulu tak lulus sekolah (baik itu tingkat SD, SMP, maupun SMA) dan begitu percaya diri tidak mau kuliah, yang sedang menangis berdarah-darah. Mereka sungguh iri dan dengki pada orang-orang cerdas dan punya posisi derajat tinggi di tengah-tengah masyarakat, yang salah satunya disebabkan telah mengenyam pendidikan dengan sempurna.


Dengan ilmu pengetahuan dan jaringan pertemanan yang berasal dari proses pembelajaran di sekolah maupun kuliah, membuat kalangan berpendidikan tersebut merasa tenang serta yakin pada masa depannya. Sebab, walau salah satu temannya enggak memberikan solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi, tetapi nyatanya mereka tetap kecipratan manfaat darinya.

Ilustrasi merenungi nasib buruk karena tidak mengenyam pendidikan di pondok pesantren, sekolah, dan kuliah (sumber pexels.com)

Malah, ada kalanya faedah di atas tak terkait langsung dengan bidang pendidikan yang ditempuh. Misal, berhubung seseorang kenal dengan beberapa teman saat menempuh pendidikan, membuat dia ikut "terhubung" dengan petinggi pemerintah daerah. Tentu, guna bisa masuk ke lingkaran elit tersebut, punya gelar/ijazah perguruan tinggi sangat diperhitungkan.


Selain itu, orang yang memiliki gelar dan profesi berkualifikasi pendidikan tinggi umumnya gampang mencari uang. Sebab, dengan gelar serta profesi yang dimiliki, misal jadi guru atau dosen, walau gajinya kecil tetapi dia bisa mencari ceperan (penghasilan sampingan) dengan pendapatan lebih besar. Bukan hanya ceperan di tempat kerja. Akan tetapi pula, ceperan saat di luar jam kerja.


Di sisi lain, para penganut paham anti pendidikan sekolah dan kuliah, faktanya mayoritas sangat sulit untuk mengembangkan karir maupun mencapai prestasi puncak. Kalaupun hendak ingin menaikkan derajat mereka, caranya sangat minim dan sempit. Misalnya, jadi wirausahawan sukses yang berpenghasilan besar. Andai bukan begitu, paling enggak merantau ke luar kota atau ke luar negeri.


Dengan demikian, walau tidak punya hal apapun yang patut dibanggakan, baik itu pekerjaan maupun prestasi, seenggaknya akhlak dan moralitasnya pantas dijadikan teladan. Hal tersebut masih jauh lebih bisa diterima dan dihargai kepribadiannya, ketimbang sudah hidupnya tak berguna justru jadi sampah masyarakat.

Baca juga 7 Fase Keuangan Manusia, Dari Jadi Beban Keluarga Hingga Bebas Finansial

Terimalah nasib yang diderita sekarang, disebabkan rasa malas di masa dulu. Nikmatilah sombong dan bangga diri yang dahulu dilontarkan berupa kata-kata penuh penghinaan terhadap orang-orang berpendidikan pesantren, sekolah, maupun kuliah. Ingatlah, usaha yang serius (termasuk menggali ilmu, berlatih, dan proses pengembangan diri) cepat atau lambat pasti akan menuai hasil!


Sekarang bagaimana? Apa masih fanatik bahwa sekolah dan kuliah bukan urusan penting? Apakah bakal memutuskan untuk menyekolahkan dan menguliahkan anak sendiri atau tetap memutuskan yang penting cukup lulus SMP (Sekolah Menengah Pertama)? Silakan didik anak kandung sesuai standar keluarga masing-masing, tapi janganlah ajak anak-anak lain kecuali orang tuanya mengizinkan.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Dulu Bangga Diri karena Tak Lulus Sekolah dan Tidak Kuliah pun Bisa Cari Duit, Sekarang Menangis Berdarah-darah"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*