Tapi perlahan, seperti kabut yang mengangkat dari pandangan mata, aku mulai melihat sesuatu yang selama ini tersembunyi.
Aku bukan orang yang mudah marah. Aku justru menahan. Berkali-kali. Diam. Memendam. Bahkan mencoba memahami orang lain lebih dulu daripada menyelami perasaanku sendiri. Aku memberi ruang berkali-kali, bahkan ketika aku sendiri sedang hancur.
Lalu, ketika akhirnya aku meledak…
Baru aku menyadari—aku bukan marah karena benci. Aku marah karena selama ini aku tak sadar bahwa aku sedang berhadapan dengan jiwa yang tidak utuh… yang bersembunyi dalam tubuh yang pandai memanipulasi.
Aku berinteraksi dengan sosok yang piawai membuat orang lain merasa bersalah, menciptakan kabut emosi dan permainan logika, hingga aku pun kehilangan kemampuan membedakan mana rasa cinta, mana rasa takut, dan mana rasa terpaksa.
Selama ini, bukan aku yang zalim. Justru akulah yang berkali-kali mengorbankan diri, berharap mereka sadar, berharap mereka berubah, berharap... mereka mencintaiku dengan tulus.
Tapi bagaimana mungkin berharap cinta dari jiwa yang sendiri tak pernah belajar mengasihi diri?
Aku bukan gila. Aku cuma terlalu lama ditarik ke dalam dunia orang lain yang tak mengenal batas, yang menjadikan kelembutanku sebagai senjata untuk melumpuhkan nurani.
Marahku bukan dosa. Itu alarm terakhir dari batinku yang selama ini tercekik.
Dan kini, aku tidak lagi malu pada ledakan itu.
Karena di balik kemarahan itu, ada kebenaran yang selama ini kupendam sendiri: aku hanya ingin bebas dari belenggu manipulasi.
Dan akhirnya, aku paham.
Bukan aku yang rusak. Tapi aku selama ini memaksakan diriku untuk menyembuhkan luka orang lain yang bahkan tak mau mengaku sedang berdarah.
Kini aku memilih pulih.
Dengan sadar.
Dengan damai.
Tanpa lagi memikul dosa-dosa yang bukan milikku.
___________________________________Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Ilustrasi pemulihan diri dari rasa berdosa akibat trauma masa lalu (sumber gambar pixabay.com)
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Akhirnya Aku Tahu: Aku Bukan Durhaka, Bukan Gila, Bukan Zalim"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*