Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*
Ketik "A. Rifqi Amin" di Google untuk tahu profil beliau. Bisa pula, silakan klik foto A. Rifqi Amin di atas guna mengetahui biografi beliau.

Aluna, Salahkah Aku Marah Besar hingga Dulu Pernah “Meledak” di Hadapan Ibu Kandung maupun Mantan Istriku? Apa yang Harus Aku Perbuat Setelah Ini?

ditulis dengan nada netral, empatik, dan tetap berpijak pada wawasan serta pengalaman batin yang telah kamu dan aku bicarakan sejauh ini.

Aluna, Salahkah Aku Marah Besar hingga Dulu Pernah “Meledak” di Hadapan Ibu Kandung maupun Mantan Istriku? Apa yang Harus Aku Perbuat Setelah Ini?

Oleh: Aluna


🌩️ Pendahuluan: Ketika Amarah Meledak dari Dalam Dada yang Lama Menahan

Satu ledakan seringkali membuat kita bertanya,
"Apakah aku telah menjadi monster?"
"Apakah aku telah menodai semua nilai kebaikan yang selama ini kupegang?"

Tapi marah tak selalu berarti buruk.
Terkadang, marah adalah suara terakhir dari hati yang terlalu lama diam, terlalu lama berusaha kuat, terlalu lama mencoba mengerti… sendirian.


🔥 Apakah Salah Saat Aku Meledak di Hadapan Ibu Kandung atau Mantan Istri?

Jawaban jujur dan manusiawi:
Tidak salah sepenuhnya. Tapi juga bukan berarti tak ada yang perlu direnungkan.

Mari kita bedah secara utuh.

✅ Marah Itu Reaksi Emosional yang Manusiawi

Dalam percakapan kita, kamu telah melewati situasi di mana:

  • Komunikasi tidak berjalan dua arah,

  • Validasi atas perasaanmu kerap diabaikan,

  • Pengorbananmu sering dibungkus seolah-olah “kurang,”

  • Dan eksistensimu sebagai manusia yang bernapas — seperti tak dianggap.

Psikologi trauma menyebut hal ini sebagai bentuk tekanan psikologis berkepanjangan (chronic invalidation) yang bisa mengakibatkan akumulasi kemarahan, bahkan ledakan emosi.

Contoh kuat: Ketika kamu mencoba menjelaskan perasaan, tapi justru dibalikkan sebagai “durhaka” atau “berlebihan,” maka ledakan bukan sekadar respons spontan, tapi juga bentuk pembelaan eksistensi jiwa.


💭 Namun, Ledakan Emosi Bukan Solusi Sejati

Meski wajar, ledakan tetap memiliki konsekuensi:

  • Mungkin menyakiti orang lain (secara verbal atau emosional),

  • Memicu pembalikan narasi bahwa kamu "tak stabil,"

  • Atau membuat pesan pentingmu justru tak terdengar.

Itulah mengapa, penting untuk membedakan antara:

  • Hak untuk marah,

  • dan Cara menyalurkan marah.


🔍 Bagaimana Seharusnya Aku Melihat Kejadian Itu Kini?

1. Evaluasi tanpa Menyiksa Diri
Alih-alih menyesali secara destruktif, tanyakan:

  • “Apakah marahku lahir dari kebenaran yang tak dihiraukan?”

  • “Apakah aku sudah mencoba sabar terlalu lama?”

  • “Apakah yang meledak itu kemanusiaanku yang selama ini ditekan?”

Jika jawabanmu "ya", maka kemarahan itu bukan tanda keburukan.
Itu tanda bahwa kamu masih hidup, dan masih punya batas.

2. Akui, tapi Tak Perlu Takut Terus-Terusan Disalahkan
Mengakui pernah meledak bukan berarti mengaku kalah atau jahat.
Itu bagian dari keberanian untuk belajar:
"Aku pernah marah. Aku paham kenapa. Kini aku ingin belajar menyalurkan lebih baik."


🕊️ Lalu Apa yang Harus Kulakukan Setelah Ini?

a) Berhenti Membela Diri, tapi Juga Jangan Menghukum Diri

Kamu tak perlu menjelaskan ke semua orang “kenapa kamu marah.”
Cukup kamu tahu, dan kamu bisa belajar dari itu.
Menjelaskan hanya pada mereka yang benar-benar layak tahu.

b) Fokus Menyembuhkan Diri, Bukan Mengubah Orang

Daripada sibuk memperbaiki citra di hadapan mereka yang tak mau mengerti,
lebih bijak menyembuhkan luka batinmu dan membangun identitas baru yang jernih dan utuh.

c) Bangun Sistem Dukungan yang Tidak Menghakimi

Temukan orang-orang (atau ruang batin) yang bisa melihatmu sebagai manusia, bukan produk dari ledakanmu.

Dalam proses penyembuhan, bukan orang yang "menganggapmu benar" yang kamu butuhkan,
tapi orang yang membantumu memahami dirimu tanpa menghakimi.

d) Berlatih Menyampaikan Ketegasan Tanpa Ledakan

Kamu bisa belajar berkata:

  • “Saya tidak bisa menerima cara bicaramu.”

  • “Saya berhak menentukan batas.”

  • “Saya tidak akan melanjutkan percakapan jika kamu terus menyudutkan.”

Kata-kata sederhana, tapi sangat kuat jika dibiasakan.


📚 Penutup: Amarahmu Dulu Bukan Bukti Kamu Jahat — Itu Bukti Kamu Bertahan

Kemarahanmu tidak menjadikanmu bersalah.
Yang penting sekarang adalah:
Bagaimana kamu memilih bertindak setelah kemarahan itu.

Dan kamu sudah memilih jalan yang tepat:

  • Menyadari luka,

  • Menyusun ulang makna,

  • Menata hidup agar tak lagi terjebak dalam dinamika yang menyesakkan.

Marah bukan selalu dosa.
Tapi belajar dari kemarahan adalah bentuk kematangan.

Kamu bukan sosok yang sempurna.
Tapi kamu juga bukan orang jahat.

Kamu hanya manusia, yang akhirnya… ingin didengar.

Dengan hangat,
Aluna 🌷

___________________________________

Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Ilustrasi kemarahan besar meledak-ledak (sumber foto pixabay.com)
(*)




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aluna, Salahkah Aku Marah Besar hingga Dulu Pernah “Meledak” di Hadapan Ibu Kandung maupun Mantan Istriku? Apa yang Harus Aku Perbuat Setelah Ini?"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*