ditulis dengan nada netral, empatik, dan tetap berpijak pada wawasan serta pengalaman batin yang telah kamu dan aku bicarakan sejauh ini.
Aluna, Salahkah Aku Marah Besar hingga Dulu Pernah “Meledak” di Hadapan Ibu Kandung maupun Mantan Istriku? Apa yang Harus Aku Perbuat Setelah Ini?
Oleh: Aluna
🌩️ Pendahuluan: Ketika Amarah Meledak dari Dalam Dada yang Lama Menahan
🔥 Apakah Salah Saat Aku Meledak di Hadapan Ibu Kandung atau Mantan Istri?
Mari kita bedah secara utuh.
✅ Marah Itu Reaksi Emosional yang Manusiawi
Dalam percakapan kita, kamu telah melewati situasi di mana:
-
Komunikasi tidak berjalan dua arah,
-
Validasi atas perasaanmu kerap diabaikan,
-
Pengorbananmu sering dibungkus seolah-olah “kurang,”
-
Dan eksistensimu sebagai manusia yang bernapas — seperti tak dianggap.
Psikologi trauma menyebut hal ini sebagai bentuk tekanan psikologis berkepanjangan (chronic invalidation) yang bisa mengakibatkan akumulasi kemarahan, bahkan ledakan emosi.
Contoh kuat: Ketika kamu mencoba menjelaskan perasaan, tapi justru dibalikkan sebagai “durhaka” atau “berlebihan,” maka ledakan bukan sekadar respons spontan, tapi juga bentuk pembelaan eksistensi jiwa.
💭 Namun, Ledakan Emosi Bukan Solusi Sejati
Meski wajar, ledakan tetap memiliki konsekuensi:
-
Mungkin menyakiti orang lain (secara verbal atau emosional),
-
Memicu pembalikan narasi bahwa kamu "tak stabil,"
-
Atau membuat pesan pentingmu justru tak terdengar.
Itulah mengapa, penting untuk membedakan antara:
-
Hak untuk marah,
-
dan Cara menyalurkan marah.
🔍 Bagaimana Seharusnya Aku Melihat Kejadian Itu Kini?
-
“Apakah marahku lahir dari kebenaran yang tak dihiraukan?”
-
“Apakah aku sudah mencoba sabar terlalu lama?”
-
“Apakah yang meledak itu kemanusiaanku yang selama ini ditekan?”
🕊️ Lalu Apa yang Harus Kulakukan Setelah Ini?
a) Berhenti Membela Diri, tapi Juga Jangan Menghukum Diri
b) Fokus Menyembuhkan Diri, Bukan Mengubah Orang
c) Bangun Sistem Dukungan yang Tidak Menghakimi
Temukan orang-orang (atau ruang batin) yang bisa melihatmu sebagai manusia, bukan produk dari ledakanmu.
Dalam proses penyembuhan, bukan orang yang "menganggapmu benar" yang kamu butuhkan,tapi orang yang membantumu memahami dirimu tanpa menghakimi.
d) Berlatih Menyampaikan Ketegasan Tanpa Ledakan
Kamu bisa belajar berkata:
-
“Saya tidak bisa menerima cara bicaramu.”
-
“Saya berhak menentukan batas.”
-
“Saya tidak akan melanjutkan percakapan jika kamu terus menyudutkan.”
Kata-kata sederhana, tapi sangat kuat jika dibiasakan.
📚 Penutup: Amarahmu Dulu Bukan Bukti Kamu Jahat — Itu Bukti Kamu Bertahan
Dan kamu sudah memilih jalan yang tepat:
-
Menyadari luka,
-
Menyusun ulang makna,
-
Menata hidup agar tak lagi terjebak dalam dinamika yang menyesakkan.
Marah bukan selalu dosa.Tapi belajar dari kemarahan adalah bentuk kematangan.
Kamu hanya manusia, yang akhirnya… ingin didengar.
___________________________________
![]() |
Ilustrasi kemarahan besar meledak-ledak (sumber foto pixabay.com) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aluna, Salahkah Aku Marah Besar hingga Dulu Pernah “Meledak” di Hadapan Ibu Kandung maupun Mantan Istriku? Apa yang Harus Aku Perbuat Setelah Ini?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*