(Refleksi dari seorang anak lelaki yang mulai tersadar dari "kebingungan" lalu bertanya)
Aku pernah berpikir, semua bentuk kasih sayang dari ibu adalah kebenaran mutlak. Sebab dia melahirkanku. Sebab dia menyusuiku. Sebab dia mendidikku. Sebab dia berdoa untukku. Dan sebab-sebab lain yang berderet panjang, terlalu sakral untuk dibantah.
Tapi, semakin aku tumbuh, ada sesuatu yang mengganjal—sebuah pertanyaan yang lama kupendam:
"Ini sayang atau penjajahan batin?"
Aku tak bisa melupakan suara keras itu.
Kalimat makian yang menyusup ke kamar.
Nada kecewa yang tak pernah benar-benar bisa kulunasi dengan prestasi apapun.
Tatapan yang membuatku merasa menjadi anak gagal, hanya karena aku tak setuju.
Tapi selalu kutelan semuanya, karena itu "dari ibu".
Setiap kali aku mempertanyakan sesuatu, ada jawaban siap pakai:
“Kamu berani melawan ibu sendiri?”“Ibu sudah berkorban segalanya demi kamu.”“Lihat anak-anak lain, tak ada yang seperti kamu.”
Aku ingin bebas menjadi diriku sendiri tanpa harus merasa bersalah pada sosok yang melahirkanku.
Atau itu justru bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri, agar aku tidak menjadi ayah yang melanjutkan luka ini ke anak-anakku nanti?
"Ini sayang... atau penjajahan batin?"
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
![]() |
Ilustrasi ruang yang seharusnya menjadi tempat melindungi justru medan penjajahan (sumber foto pixabay.com) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Ini Sayang atau Penjajahan Batin?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*