Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*
Ketik "A. Rifqi Amin" di Google untuk tahu profil beliau. Bisa pula, silakan klik foto A. Rifqi Amin di atas guna mengetahui biografi beliau.

Cerita Pendek Disadarkan Kisah Nyata: Sepotong Jalan yang Tak Bernama

Angin pagi tak pernah menanyakan siapa yang datang dan siapa yang pergi. Ia hanya lewat, menyapa dedaunan yang menggigil, lalu lenyap ke arah yang tak bisa dikejar.

Di sebuah kota yang wajahnya selalu berubah lebih cepat daripada hatimu sempat percaya, ada seorang lelaki yang memilih diam. Ia berjalan tanpa nama, tanpa bendera, tanpa keinginan untuk menjelaskan apa pun pada dunia yang terlalu sibuk bercermin pada wajah palsu mereka sendiri.

Orang-orang mengenalnya sebagai seseorang yang ‘dulu pernah percaya’, tapi kini hanya menyisakan tatapan tenang. Bukan karena damai, melainkan karena habis menangis di tempat yang tidak terlihat siapa pun—tempat yang bahkan Tuhan pun tampaknya merunduk diam, memberi ruang.

Dia pernah hidup di antara wajah-wajah yang fasih bicara kasih, tapi mengunyah jiwanya diam-diam. Mereka pandai menyusun kata seindah puisi, tapi menggantungkannya seperti kail yang siap menyayat siapa pun yang terlalu jujur.

Pernah, ia bertanya dengan polos: “Apakah sayang itu berarti kau harus menyangkal dirimu sendiri?” Tapi yang datang hanya cemooh, senyum tipis penuh skenario, dan pertunjukan sandiwara yang tak kunjung rampung.

Ia mencoba memahami. Bertahun-tahun. Sampai akhirnya lelah bukan lagi sekadar rasa, tapi rumah.

Di hari itu, saat embun masih ragu turun, ia memutuskan berhenti. Bukan karena kalah. Tapi karena sadar: ia bukan pemain dalam panggung mereka.

Ia bukan diciptakan untuk menjilat kaki topeng, apalagi berdamai dengan kebohongan yang dirias dengan kata-kata manis. Ia diciptakan untuk jujur, meski harus sendiri.

Jadi ia pergi. Tidak dengan dendam, tidak pula dengan kemenangan. Ia pergi dengan sunyi yang damai. Membawa sepasang sepatu usang, beberapa halaman catatan yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang pernah patah, dan satu keputusan: aku memilih waras.

Setiap kota ia lewati seperti menyeberangi ingatan. Ia menyembunyikan namanya, bukan karena takut, tapi karena tidak ingin dipanggil oleh suara-suara dari masa lalu yang hanya mengundang luka lama.

Ada kalanya ia duduk di antara anak-anak yang bermain, lalu tersenyum lirih melihat mereka belum tahu betapa keras dunia bisa mencakar. Ada kalanya ia menulis di warung kopi kecil, hanya untuk memastikan bahwa hatinya belum mati—bahwa masih ada satu dua kalimat yang belum dipalsukan.

Ia bukan nabi. Ia bukan penyelamat siapa-siapa. Ia hanya ingin hidup, tanpa perlu menipu dirinya sendiri.

Orang bilang itu kesepian. Tapi baginya, itu bentuk paling jujur dari cinta: tak lagi menyiksa siapa pun hanya demi mempertahankan peran.


Sore itu, ia berdiri di pinggir jalan yang tak punya nama. Langit mulai menggulung awan, seperti ingin mengingatkan bahwa tak semua hal bisa dikendalikan.

Tapi ia tenang.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tahu: tempat terbaik bukanlah pelukan yang manis atau kata-kata yang meyakinkan.

Tempat terbaik adalah ruang di dalam dirinya sendiri—yang dulu remuk, kini perlahan sedang belajar tumbuh, meski tanpa tepuk tangan siapa pun.

Dan ia tersenyum. Bukan karena bahagia, tapi karena pulih.
Dalam diam. Dalam waras. Di tengah serbuan topeng tanpa jiwa.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Ilustrasi jalan tanpa nama (sumber foto pixabay.com)
(*)




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerita Pendek Disadarkan Kisah Nyata: Sepotong Jalan yang Tak Bernama"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*