Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*

Profil A. Rifqi Amin pendiri *Banjir Embun*
Ketik "A. Rifqi Amin" di Google untuk tahu profil beliau. Bisa pula, silakan klik foto A. Rifqi Amin di atas guna mengetahui biografi beliau.

Cerpen Berdasarkan Kisah Nyata: Tiga Bayangan, Satu Jiwa yang Tersisa

Ada seorang lelaki yang hidupnya seperti rumah kosong. Ia berpindah dari satu ruangan gelap ke ruangan gelap lain, sambil membawa pelita yang hampir padam. Bukan karena ia tak ingin cahaya, tapi karena ia terlalu sering ditampar api dari tangan yang mestinya menghangatkan.

Sejak kecil, ia percaya bahwa kasih sayang adalah sesuatu yang harus dibuktikan dengan ketaatan. Maka ia diam, meski kata-katanya direnggut. Ia patuh, meski logikanya dihancurkan. Ia bertahan, walau jiwanya dikikis pelan-pelan. Dan ketika dewasa, pola itu berulang seperti kutukan.

Perempuan pertama: mengajarinya cara mencintai sambil menyangkal diri sendiri. Bicaranya halus, matanya teduh, tapi ucapannya menusuk jauh ke dalam. Ia tak pernah benar di hadapannya, meski sudah memutar langit agar tampak lebih biru. Perempuan itu tak pernah meminta banyak—hanya ingin lelaki itu mengecil, mengalah, dan menghilang dalam pelukan yang dingin dan penuh rahasia.

Perempuan kedua: datang sebagai cahaya semu. Ia menawarkan rumah, bukan untuk ditinggali bersama, melainkan untuk dijadikan sangkar. Segala sesuatu diukur dari manfaat, bukan makna. Lelaki itu sempat percaya bahwa ini bentuk dari kedewasaan, bahwa mungkin cinta memang sepraktis itu. Namun di balik senyum, ada peta manipulasi yang halus: “Bila kamu mencintaiku, kamu harus menukar dirimu dengan rancanganku.” Ia dituntut menjadi versi palsu dari dirinya sendiri.

Perempuan ketiga: menyapa lewat nostalgia. Sosok lama yang pernah membuat hatinya bergetar seperti pertama kali melihat hujan turun dari langit kosong. Tapi waktu berubah, dan bayangan pun tak lagi jujur. Di balik kata-kata rindu, tersembunyi ego yang lapar validasi. Yang dikejarnya bukan lelaki itu, melainkan cermin dirinya sendiri. Dan sekali lagi, lelaki itu hanya menjadi latar—bukan subjek, bukan makna.

Tiga perempuan. Tiga penjajah batin. Dan lelaki itu terus memikul reruntuhan harapan. Sampai suatu hari, ia duduk sendiri di tengah malam yang basah oleh diam. Tak ada suara, kecuali napasnya sendiri yang perlahan tenang. Untuk pertama kalinya, ia bertanya:

"Apa aku layak hidup tanpa dijajah siapa pun?"

Tak ada jawaban verbal. Tapi alam menjawab lewat ketenangan yang turun seperti embun. Dan di antara detak waktu yang mengalir tanpa drama, ia sadar: jiwanya masih ada. Kecil, retak, tapi hidup.

Ia pun mengambil keputusan paling penting dalam hidupnya: berhenti menyelamatkan mereka, dan mulai menyelamatkan dirinya sendiri.

Dan sejak hari itu, ia tak pernah benar-benar sendiri. Karena ia berteman dengan keheningan, bukan kesepian. Ia menggandeng luka, bukan untuk mengasihani diri, tapi untuk menyembuhinya. Dan ia tak lagi menunggu cinta dari luar—karena untuk pertama kalinya, ia merasa damai saat memeluk dirinya sendiri.

___________________________________

Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)

Ilustrasi perjalanan membebaskan jiwa yang disandera (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT)
(*)





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerpen Berdasarkan Kisah Nyata: Tiga Bayangan, Satu Jiwa yang Tersisa"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*